Candrasengkala 3
Candrasengkala 3
Penulis : Amelina Junidar
Penyunting : Tim Ajrie Publisher
Layout: Tim Ajrie Publisher dan Tim Lovrinz
Cover : Tim Lovrinz
Diterbitkan oleh:
CV Ajrie Publisher
Jalan Binuang 16 RT/RW 007/001
Kelurahan Kayu Kubu Kecamatan Guguk Panjang
Ngarai Sianok, Bukittinggi 26115
Dicetak oleh:
Lovrinz Publishing
127 hal
ISBN:
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Kata Pengantar
Untuk Sang Pemilik Taman.
Untuk kekasih-Nya Sang Pemilik Taman.
Untuk hamba-Nya Sang Pemilik Taman.
Untuk para penikmat “Candasengkala 3”
di manapun berada.
Penulis
Daftar Isi
Nawala 1
Sampai Jatuh 3
Sebab 4
Simpang Harapan 5
Soliloquy 6
Muridku 8
Kelas Pelangi 9
Si Pejuang 10
Perindu 11
Suamiku 12
Sekolahku 13
Pemimpin 14
Teman Sejawat 16
Masa Depan 17
Keluargaku 18
Jangan Menyerah 20
Hidup dan Mati 22
Fosfor Mungil 23
Perdebatan 24
Khan Yunis 26
Elegi Sup Lentil 28
Cerita si Aku (red: Marapi) 30
Puisi 1 31
Puisi 2 32
Puisi 3 34
Puisi 4 35
Puisi 5 37
Puisi 6 38
Puisi 7 40
Puisi 8 42
Puisi 9 43
Puisi 10 45
Puisi 11 46
Puisi 12 47
Puisi 13 48
Puisi 14 49
Puisi 15 50
Puisi 16 52
Puisi 17 56
Puisi 18 57
Selamat Tinggal Dunia 59
Akhir dari Penantian Panjang 60
Secercah Doa untuk Muridku 62
Cinta Tak Bersyarat 64
Anak Jalanan 66
Selamat Jalan 68
Sajak Rindu 69
Putaran Jam 71
1948 72
Sajadah Tak Bertuan 73
Deraian Air Mata 74
Tanpa Basa-Basi 75
Lincah 76
Dekapan Hangat 77
Ibu 79
Kecewa Berselimut Rindu 81
Sudah 82
Waktu 83
Generasi Ambisius 85
Perjuangan 86
Luka yang Manis 88
Takdir Tuhan 90
Anonim 92
Fatamorgana 94
Ibuku Surgaku 96
Salatlah Sebelum Disalatkan 99
Saat Senja Menyapa Rabb-nya 101
Jalan Surgaku; Menjadi Seorang Guru 103
Sahabat Pena 105
Pantai Alam yang Indah 107
Rindu 108
Kebudayaan Indonesia Hebat 110
Menari Bersama Alam 112
Puisi 19 113
Puisi 20 115
Puisi 21 116
Penguasa 117
Nawala
Dengan sehelai baju celana
bersama lengkingan cicak
sahutan katak berdetak
hembusan napas tidurmu
aku rindu
Setiap tarikan dan embusan
juga irama helaan yang kau berikan
aku akan pulang,
menatap pejammu yang sayu
antara terbuka dan tidak
apakah kau memandangku ketika tidur?
Atau rindu yang berlebihan?
Kasurmu, bantalmu, selimutmu
sudah merindukanku
juga dinding kamarmu, melukis namaku
aku akan pulang, menuju kamarmu
untuk membayar rindu yang dihutangi jarak
Sampai Jatuh
Ini tak mendung hujan
kelam yang datang ini
kan hilang jua
Siapa yang akan menanggung hujan
malam yang diam tak salah
jatuh hingga Subuh
Tapak tapak yang dihapusnya
akan datang dalam bentuk jejak
kaki yang melangkahi
dan mengangkangi
sampai Subuh
sampai jatuh
Sebab
Suatu hari ada anak
yang menyanyikan melodi pembuka
ia tak bersuara sebab bisu
Saban hari ia melihat
keindahan tangan Tuhan
ia tak melihat sebab buta
Kadang suatu sore ia mendengar
kidung selamat mati
ia tak mendengar sebab tuli
Simpang Harapan
Di simpang jalan
berteduh rintik hujan
di mata terus mengalir
harapan untuk hadir
Pergilah palung palung
kesedihan …
malam yang tak memaafkan
manusia-manusia putus asa
terempas dan menggelinding
Janji-janji Tuhan tak pasti
bagi tangan yang mengurai harapan
Soliloquy
Akan ada waktunya untuk kita
menyaksikan bunga matahari mekar
dan menghasilkan camilan
untuk kita nikmati di sore
menjelang matahari lain tenggelam
Kau dari dapur
akan membawakan sepasang gelas
dengan tadah anggrek berisikan teh
yang kau seduh sepanjang hari
demi mendapatkan aroma cinta
Saat itu, udara sedang sejuk
sore mematut tak berdaya
Dan kita akan menyuarakan cinta,
Beranda yang kita tempati
akan memberikan suasana
kenyamanan, kasih, dan cinta
aku akan membawa
sepasang matahari
kudapan dan keterangan cinta
Muridku
Muridku …
Engkau tau kenapa aku bisa di sini?
Engkau tau kenapa aku bisa sekuat ini?
Engkau tau kenapa aku bisa sesabar ini?
Engkau tau kenapa aku bisa ceria ini?
Walaupun diriku sakit …
Tapi ada kehidupan yang seru di kelas ini
Membuat badan ini sehat,
Membuat hati ikhlas,
Semua karena kau …
Muridku sayang!
Kelas Pelangi
Kehijauan meja kelasku
Mengalahkan padang rumput yang rimbun
Putihnya seragam seperti sucinya hati guruku
Merah darahku yang bergejolak
Biru yang menguatkan kesetiaan
Wahai pelangi di pojok belakang kelasku
Kau saksi kehidupan, warna kehidupanku
Selamat tinggal
Terima kasih untuk waktu setahunnya
Si Pejuang
Berlari-lari …
Supaya waktu tidak meninggalkannya
Supaya anak tidak menangis mengikutinya
Supaya jalan memberi ruang untuk dilewatinya
Supaya pintu kelas terbuka untuknya
Supaya murid menyambutnya
Supaya kursi ada tuannya
Supaya papan tulis dihiasi oleh tulisannya
Supaya ilmu tersampaikan ke muridnya
Semangat wahai diri pejuang
Semangat wahai hati pejuang
Semoga keberkahan menyelimuti
Perindu
Anakku …
Hadirmu menyesapi setiap darah di tubuhku
Namun diri hanya beberapa kali bisa melihatmu
Keheningan yang kurasakan
Semoga hatiku dan hatimu bersatu
Saling mengingat
Saling menguat
Saling sayang
Saling butuh
Saling merindu!
Suamiku
Aku tahu amanah taklah kecil bagimu
Yang Tuhan titipkan kepadamu
Dia hadirkan aku untukmu
Dia hadirkan anak kita
Dia hadirkan keluarga kita
Dia hadirkan kasih sayang
Dia hadirkan keluh kesah di keluargamu
Kaulah suamiku
Tempat berceritaku
Tempat bersandarku
Tempat penghibur sedihku
Tempat pelerai cemasku
Wahai suamiku
Bimbinglah aku hingga sampai ke Jannah-Nya
Sekolahku
Gedung yang megah tinggi menjulang
Kehijauan mata memandang
Sejuk mendinginkan hati
Tahun demi tahun berlalu
Tinggallah kenangan
Tingkah lucu menghiasi setiap sudut
Tak jarang guru menegurku
Sekolahku …
Tempat membekali diri dengan ilmu
Bergaul dengan teman
Menghormati guru
Hingga diri berguna seperti ini
Pemimpin
Kau juga seorang manusia
Memiliki nurani
Memiliki perasaan
Pikiran yang sehat
Membawa sumpah dan janji jabatan
Dengan tanggung jawab yang besar
Pemimpin …
Jika anggotamu berbuat kesalahan
Tegurlah sewajarnya
Lembutkan hatinya
Redamkan emosinya
Asalkan jangan jatuhkan harga dirinya
Karena dia juga manusia
Pemimpin …
Terima kasih sudah mengawasi,
Memberi masukan
Tapi jangan lupakan dirimu yang juga butuh itu!
Teman Sejawat
Dari terbit sampai tenggelam matahari
Setiap hari
Sepanjang waktu
Kita bersua
Melaksanakan tugas yang amanah
Sesuai tuntunan yang tak mau kalah
Sesuai jam kerja yang tak mengenal lelah
Aktivitas yang selalu ada
Membuat kita berjalan bersama
Menaungi samudera kehidupan kerja
Semangat wahai teman sejawat
Mari kita berpegang erat
Menuntaskan jadwal yang padat
Masa Depan
Angan yang tak mau kalah
Tubuh yang tak mau lelah
Kaki yang terus melangkah
Tangan yang mau membantu meraih
Dia ada di depan mata
Meraih cita-cita
Ayolah maju pejuang tercinta
Biarkan masa lalu hanya menyapa
Tidak ada yang sia-sia
Nan jauh di sana tersirat sebuah cahaya
Menunggu kau menggenggamnya
Keluargaku
Keluargaku …
Ibu yang selalu sibuk membereskan rumah
Ayah yang tak pernah marah
Kakak yang mau berangkat sekolah
Adik berebutan mandi tak mau kalah
Keluargaku …
Harta yang tak ternilai harganya
Kasih sayang yang tiada tara
Kehidupan yang bahagia
Tak bisa ditemukan di mana-mana
Kelurgaku …
Setiap hari ada cerita dan ceria
Banyak kisah dan makna
Keluargaku …
Kerukunan
Kebersamaan
Ada di keluargaku!
Jangan Menyerah
Bangun!
Ini belum apa apa, kawan
Bahkan belum seujung kuku
Dari pelanginya atma yang ranum muslihat
Dari angkuhnya bahumu yang ringkih itu meringkuk memaksa
Ini belum apa apa, kawan
Kau tahu?
Bukan kau paling menderita
Jikalau inderamu tiasa sempurna tanpa cacat cela
Jangan sekali kali merasa
Kaulah yang paling durja
Dunia tak hanya berputar di bawah telapakmu saja
Sungguh, kau bahkan belum tentu diakui sebagai tatanan dunia
Bagian dari tata surya
Ini belum apa apa kawan
Kita masih Indonesia
Belum jadi Palestina
Kau yakin masih merasa sedemikian lena?
Seolah segalanya masih baik baik saja
Hidup dan Mati
Apa kabar hidup?
Masihkah hidup dalam hidup dan kehidupan
Ataukah telah mati dalam kematian?
Jikalau mati dalam kehidupan
Duh, betapa engkau sungguh kasihan
Layaknya hidup dalam jiwa tak bertuan
Tak bertujuan
Hilang genggam arah pedoman
Jikalau juga berbalik tawan
Hidup dalam kematian
Niscaya indah surga belian
Walau telah dipagut sang zaman
Berpulang kepada Pemilik Halaman
Menggema getar agung serpihan
Segala kebaikan si empunya hanan
Fosfor Mungil
Memaku, jiwa kecil
Langit menatap putih
Menumpang tanya telunjuk ringkih
Mengiba, siapa?
Serempak, kepala mencari-cari
Pabila terselip isak
Antara puing dan reruntuhan
Ah!
Menjalar
Asing makin menggamit
Mengakar, mengari-ari
Tulang-daging menyelasar, merah putih kental menggusar
Pekik geraham dan detak langit-langit bersaliva
Menghunjamkan neraka ke atas dunia fana
Oh Sang Penilik Seni Terindah di Dunia
Bagaimana kabar mereka?
Perdebatan
Netra perlahan mengabu
Menatap perkelahian bukit dan awan
Yang berlomba menciptakan karya seni
Seenak saja menyalahi keinginan langit
Memadu perselisihan warna
Mengabung udara dalam hitamnya jelaga
Kepala kepala di bawah sana ternganga
Sekawanan rumput berkumpul
Bertanya-tanya
Kapan kau akan berhenti
Mengapa masih saja bertanya-tanya
Sedangkan kau pelaku jua korbannya
Berhentilah bertanya, mengapa dan bagaimana
Karena kaulah yang punya jawabnya
Jangan buat sang gunung termangu
Bahkan untuk tidak tahu dalam ketidaktahuanmu
Bukankah tiada yang lebih lucu daripada yang demikian itu?
Jangan pura pura akal tak tahu berada di mana tempatnya
Sampai kini kau tiasa batuk
Serak, berdahak
Sudah tiap sebentar bulir bulir awan itu menghujanimu
Malah bertambah sakit tenggorokmu
Andai bisa mendekapmu
Melegakan hati dan rasamu
Yang bergejolak menahan carut di dalam rongga
Maafkan mereka
Yang memberimu duka dan tiada menjaga
Hanya memandang, merusak pesonamu lantas meninggalkan jelaga
Khan Yunis
Tepung remahan itu ia letak di atas tungku
Berpagut kehangatan angin
Deru debu merkava
dan perkelahian antar selongsong
Sahut menyahut bagai orkestra kunang-kunang
di halaman belakang
Kala malam memaksa siang untuk berpulang
Di hadapan moncong galil nan menyerocos tanpa lebam
Beberapa pasang langkah enggan berdiam
Ke sana ke mari gaung-menggaungkan
Tiba saatnya memenuhi undangan
Pertemuan indah dengan Sang Pemilik Taman
Biar mereka yang tertinggal sendiri dalam tawan
Menunggu purnama sampaikan pemberitahuan
Pada siluet putih di pinggiran malam
Bum!
Undangan berikutnya
Tumpukan kemeja dan gaun putih itu
Menjejal tubuh-tubuh suci idaman
Busana kebesaran kesukaan Sang Pemilik Taman
Tiba saatnya memenuhi perjamuan
Yang selama ini slalu dijanjikan
Firdaus merentang membuka dekapan
Meja penuh saj* dan laffa* disajikan
Elegi Sup Lentil
Para periuk berdesakan
Menanti keroncong beralih senandung
Dandang merekah senyum
Pesan kehangatannya menyapa langit yang duduk termangu menanti kain warna warni itu bergelut mesra
Bersama angin yang gemar bercanda
Aku tak di sana
Kami bahkan tak saling sapa
Seru sebuah kain berbicara
Penjelasannya menghentikan candaan angin yang itu-itu saja
Padahal kami hampir sama, mengapa aku saja yang dilamun secara nyata dan tertata?
Ah, hampir lupa
Giliran mangkuk hitam tua itu menadahkan rupa
Beberapa butir kebahagiaan mengepul
Piring piring lain yang masih bermuram durja
Maju menyesak kerumunan, bertanya masih adakah?
Cerita si Aku (red: Marapi)
Aku sakit
Sesuatu menyekat di dalam sini
Mencabik ari
Mengunci sendi
Menggelegak sulbi
Tolong berhenti, pintanya
Pada beberapa kepala yang menengadah
Menumpangkan tanya
Lantas menyimpul jawab
Beberapa mengernyit
Tolong berhenti, pintanya
Aku tak mau, sungguh
Enggan menghitam semesta
Hanya supaya dirimu dirinya mereka
Sadar dari alpa jua papa
Tolong berhenti, pintanya
Nablus
Bum!
Alunan piringan hitam itu kembali
Menggema membelai telinga
Merdu bagai buluh perindu
Menyentuh sanubari
Apalagi jika mengingat kata kata manis
Sang Pemilik Halaman
Memaksa dinding dinding memagut para penghuni
Menenggelamkan kepala kepala dalam rasa
Mengalirkan riak riak segar
Membasuh wajah bumi pertiwi
Yang riang gembira menyambut kekasih hati
Kemarilah sayang, bukankah aku memang diciptakan untuk menggamit kehadiranmu?
Mahsyar
Hari itu
Matahari tengah menampakkan kesombongan
Merangkul memeluk lingkar tengkorak
Rambut bernyanyi sumbang
Bertanya kapan dan bagaimana
Marah memasung rahang
Mengapa aku mengapa aku
Bukan aku bukan aku
Jemari jemari saling mendelik
Bertahan dalam lautan api
Jantung paru ginjal hati
Berdiskusi meminta dispensasi
Biarkan kami pergi
Jangan seperti ini
Lantas kau tahu apa kata Sang Pemilik Taman?
Selamat datang di tengah padang
Hanya itu lantas berlalu
Meninggalkan si aku yang menyaksikan
Perkelahian rambut, tangan, kaki
Jantung, ginjal, paru
hati
Hikayat Sang Gagak
Enak!
Sang gagak dan teman-teman berteriak kesenangan
Menatap tumpukan daging yang seolah
memanggil manggil sesuai giliran
Enak!
Bagaimana bisa?
Lalapan menyelip di setiap tulang
Masih berbungkus safari coklat dan mesiu galil
Enak!
Para gagak menggelepar kekenyangan
Padahal beberapa daging masih menunggu dengan setia
Belum lagi di wilayah tungkai dan usus
Lezat tanpa bumbu dan penyedap rasa
Sudahlah, kita sisakan untuk besok saja!
Seru pemimpin gagak lantas menyelimuti daun pisang
Kisah Sang Marapi
Uhuk! Uhuk!
Ia kambuh lagi ketika pagi baru saja menampakkan pipi berseri bersemu merah
Padahal beberapa lama, Sang Pemilik Taman telah menghidangkan bergelas-gelas air putih
Meredakan panas seluk beluk jiwanya
Yang menggelegak menyaksi
Laku beberapa kepala di bawah sana
Masih saja angkuh, congkak berkacak
Bagaimana jika ia akhirnya menyerah?
Bukankah ini saatnya kembali merayu Sang Pemilik Taman
Untuk sedikit saja menghadiahkan segenggam iba
Di pucuk tangan-Nya yang tiada tara
Selamat datang, kasih
Akhirnya renggang tanganmu mampu mengisi
Apakah kau paham kesendirianku
Dalam derik derik kegelisahan
Engkau menabur bunga dalam kepedihan
Aku berusaha meraih sekuat tenaga
Dalam diam yang tak bisa kau artikan
Aku berteman dengan sepi
Dengan kepedihan yang mengoyak jiwa
Aku hancur dalam kepingan kepingan kepedihan
Aku terluka
Seiring lembayung senja
Ku duduk di sini
Deburan ombak mengalun merdu
Lihat ombak itu saling berkejaran
Kamu di mana?
Biasa kita di sini
Menikmati karunia indah Ilahi
Kamu di mana?
Biasa kita di sini
Menatap sang mentari berlalu
Kamu di mana?
Setiap hari kutunggu
Sudah sekian senja berlalu
Sementara ...
Aku masih dalam penantian yang sama
Tak rindukah kamu?
Senda gurau kita di sini
Di senja nan indah ini
Aku rindu
Rindu melihat senyum manismu
Semanis senja di pantai ini
Kupikir aku bisa
Kupikir aku telah mengubur dalam cinta
Kupikir aku telah menghapus asa dan harapan
Detik demi detik berlalu
Dan haripun telah berganti
Telah lama sejak tekadku
Untuk tidak mencintaimu
Untuk tidak mengharapkanmu
Kini nyatanya aku masih tidak menghapus bayangmu
Kupikir aku telah berhasil
Kupikir aku bisa
Bisa untuk melupakan cintaku
Dan bisa untuk melupakan janji kita untuk menunggu
Kupikir aku bisa
Nyatanya kini aku masih dengan cinta yang dulu
Nyatanya kini aku masih dengan harapan yang sama
Kupikir aku bisa
Nyatanya tidak bisa
Di matamu terukir keindahan
Memanah hati
Hingga aku ingin terus menatap
Tapi kau tak sudi
Kau berpaling,
Memunggungiku
Dan menggenggam tangannya
Kita bertemu sebagai orang asing
Lalu berkawan seperti saudara
Layaknya saudara kandung
Manalah akan rela diri ini
Melepas saudara untuk orang asing
Untuk orang yang tak pernah diri ini melihat rupa dan tingkahnya
Yang diri ini tau hanyalah lewat cerita
Aku beri cinta yang tulus
Tapi kau hanya memberi harapan
Kau suruh aku menunggu
Tapi kau mencoba berpaling
Kubawa segenggam bunga untukmu
Kaubuang bunga itu
Kuberi senyum termanis
Kau melenguh dengan muka yang masam
Kuucapkan salam bahagia
Kau acuhkan aku
Tapi aku
Aku masih dalam cinta yang sama
Sekian tahun berlalu, aku masih dalam harap yang sama
Waktu bergulir, tapi cintaku masih tak lapuk
Katanya hujan kan mengikis bebatuan
Rasa sakit tak mengikis perasaanku
Aku masih membatu dalam cinta yang sama
Berulang kali hati ini sakit
Tapi ia masih memberi ruang untuk kasih yang sama
Aku takkan bertanya mengapa kamu enggan padaku
Karena aku juga tak bisa bertanya pada hatiku, kenapa ia masih dalam cinta yang sama
Ciputat
Kakak beradik sedang menangis
Menangisi seorang anak gadis di perantauan
Kakak beradik itu adalah ibu si gadis dengan bibi si gadis
Tapi si gadis tidak tau bahwa mereka sedang menangis
Karena terakhir bicara, kakak beradik tidak menangis
Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya
Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya
Kasih sayang kakak kepada adiknya
Kasih sayang bibi dan paman kepada keponakannya
Tapi yang dikasih sedang bersedih
Terpenjara oleh dirinya sendiri
Kapan ia akan membalas budi
Dan yang dikasih memendam rindu seorang diri
Ia ingin menyapa, tapi ia tak bisa
Ia ingin merentangkan kedua tangannya, memeluk yang ia yang sudah pergi
Tapi yang pergi takkan kembali
Dan ia hanya bisa menyudut
Membisu dalam keheningan malam
Mencoba berjalan perlahan
Dengan hati yang luka
Mengindahkan rasa sakit yang ada
Mencoba bertahan untuk sebuah impian
Meski luka sedang merobek jiwa
Mencoba memberi senyuman untuk mereka yang telah membantuku berjalan
Meski sebenarnya aku sedang pilu
Karena aku tidak bisa menggenggam satu nama
Ada pilihan untuk mundur
Tapi aku akan tetap memilih maju
Sebenarnya ada getir di hati
Tapi aku tidak peduli
Kan kusiapkan bekal terbaikku
Semoga Tuhan memberi restu
Sejauh ku melangkah
Sejauh ku tertatih
Kadang letih melanda jiwa
Sempat terpikir untuk berhenti
Tapi teringat mereka yang menanti
Menanti dengan harapan pasti
Aku letih
Jiwaku meronta
Mengapa apa yang kucari
Masih belum kutemui
Aku kembali berdiri
Menggamit seuntai harapan dan doa
Mengepalkan kembali semangat dan asa
Mengukuhkan hati agar tetap tegar
Untukku, untuk mereka
Semoga Tuhan merestui
Menjadi bekal untuk di akhirat kelak
Dia kehilangan arah untuk melangkah
Dia tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri
Dia membeku
Bahkan untuk mengeluarkan air mata, dia harus bertanya
“Bolehkah aku menangis?”
Tolong,
Biarkan dia memilih jalannya sendiri
Melakukan apa yang dia suka
Dia tidak akan berpaling
Dia hanya ingin memilih
Dan tau artinya pilihan
Terkadang kita hanya perlu waktu
Mengatakan pilihan
Maju bergerak, mendayung harapan
Atau mundur, melangkah pergi
Membawa sejuta kenangan
Bukan memberi sejuta kenangan
Atas kasih yang telah tercurah
Atas rindu yang belum terbayar
Apa hendak dikata
Sampan ini ternyata sudah rusak
Bagaimana hendak mendayung?
Sayang tak ada lagi pilihan
Berenang ke tepian pun tak bisa
Duduk Tenang di Sampingku,
Aku adalah Rumahmu
Berhentilah di rumah yang kudirikan ini
ruang yang tidak luas untuk kita yang resah
duduk tenang di sampingku, aku adalah rumahmu
setiap bisikan di dalam rumah ini
adalah kata-kataku yang berubah menjadi nyanyian
agar ruangnya tidak membuat atmamu sunyi
terlalu banyak kata yang menangis di dalam mulutmu
dan tiada yang mampu meminjamkan telinga
dan aku tau itu
hakikatnya, kau, aku, dan semua yang pernah sedih di sini
namun, selagi nadiku tidak memilih untuk berhenti
peluk kita adalah aman dan nyaman
dan akan kuruntuhkan duniamu di atas kepala
supaya gelapnya menjadi butiran debu yang lenyap
karena aku pernah ada di jalanmu
dan aku tidak ingin lagi kamu ke situ
“Aku berkelana dalam pelukanmu
saat risau yang datang tak terbendung olehku
lalu tuan, kenapa aku tidak bisa lupa dengan nyamanmu?”
saat aku berkelana dalam waktu patahku
damai suaramu kudengar seperti nyanyian romansa
lalu juwita
apakah kamu pikir aku juga bisa lupa?
genggamlah jiwaku Tuan, agar hangatmu dan dinginku senantiasa menjadi satu dan …
dan lebih dari itu, kan kuhayati sinar matamu
yang kutemukan rumahku
Barangkali pada tanganmu mengalir deras lirik puitis
dan aku menyambutnya dengan tangan yang penuh dengan goresan romantis
lalu dengan sentuhan Tuhan
gugurlah intuisi pada rasa kita yang menyatu
dan menetes setiap ketukan pada rasa rindu
terciptalah lagu yang jika didengarkan oleh bunga
maka ia akan tumbuh cantik
sehebat itu
kau kukagumi menjadi sebahagian seni dalam hidupku
yang membuat kita satu-satunya pasangan semesta
yang menari ria untuk lagu kita sendiri
Jika kamu bertanya pada sang rembulan
tentang apa yang kulakukan, mungkin ia akan menjawab
Saat malam dan dingin menyatu dan tentu ada bintang-bintang dan aku, kamu sedang melihat kertasnya yang kosong
dan pada saat itu aku akan mulai merasakan cemburu
“Kenapa cemburu?”
“Bagaimana tidak, cahayaku yang selalu menerangi malamnya, tetapi tetap namamu yang menjadi puisinya dan yang dibaca sebelum tertidur.”
dan di sini kutuliskan sebuah pengakuan, saat indahmu kucintai dan kukagumi, kau kujadikan puisi
Selamat Tinggal Dunia
jika nanti hidupku sudah berakhir
selamat tinggal kuhaturkan
pada hujan yang sering menjelma dalam puisiku
pada setiap pepohon tempat berteduh
selamat tinggal pada bintang dan rembulan
yang sunyi untuk setiap malamku
selamat tinggal pada semua yang disebut rumah
dan pada semua yang pernah menjadi satu yang pernah
tak usah habiskan waktumu untuk merindu
terus baca puisiku yang sedang kesunyian
dan ketahuilah aku juga bisa merindu
setiap tentangku juga ikut berakhir
dan aku berharap, kamu tidak ikut pergi
Akhir dari Penantian Panjang
Lima tahun lamanya
Itu bukanlah waktu yang sangat singkat
Di saat lisan selalu meminta
Di saat hati selalu berharap
Di saat langkah sudah mulai goyah
Hal itu tidaklah mudah
Setiap saat
Setiap waktu
Bahkan setiap embusan napas
Pertanyaan itu selalu mengganggu pikiran dan ketenangan
Bukannya tidak mau
Atau tidak berusaha semampuku
Tapi semua itu karena belum waktunya
Dan semua itu adalah kehendak-Nya
Aku yakin, Allah tidak pernah tidur
Aku yakin, Allah tidak pernah lengah
Allah selalu mendengar setiap jeritan hamba-Nya
Allah selalu punya rencana di luar sepengetahuan kita
Hingga tibalah waktunya
Saat Allah berkehendak
Saat Allah menjawab semua doa-doa kita
Maka InsyaAllah kebahagiaan itu pasti akan datang
Secercah Doa untuk Muridku
Muridku …
Aku memang tidak sempurna
Aku memang tidak punya apa-apa
Aku hanya manusia biasa
Yang tidak pernah luput dari kesalahan
Maafkan aku jika terkadang masih ada amarah
Maafkan aku jika terkadang membuat luka
Tapi jauh di lubuk hati, semua itu kulakukan
Hanya ingin melihat kalian bahagia
Hanya berharap kalian menjadi orang yang berguna
Jangan lelah saat ku menasehatimu
Jangan kesal saat ku memarahimu
Jangan dendam saat ku menegurmu
Semua itu tak lain dan tak bukan kulakukan demi kebaikan
Ya Allah
Jadikanlah para muridku ini menjadi orang-orang yang berakhlak mulia
Jadikanlah para muridku menjadi manusia yang berguna dalam setiap kehidupannya
Izinkan mereka sukses dalam mencapai cita-citanya
Izinkan mereka bahagia di dunia dan akhiratnya
Cinta Tak Bersyarat
Ibu
Di saat seorang mulai memanggilku dengan kata itu
Muncullah beribu rasa dalam hati
Ada rasa bahagia, Ada rasa haru
Dan bahkan ada rasa takut
Bahagiaku karena memiliki harta yang amat berharga
Haruku karena diberi kepercayaan oleh Yang Esa
Takutku jika tidak bisa melaksanakan amanah sebaik-baiknya
Tapi, ku akan selalu berusaha
Berusaha memberikan yang terbaik untukmu, anandaku
Menjadi ibu tidaklah mudah
Butuh perjuangan
Keikhlasan
Bahkan pengorbanan yang sangat besar
Seorang ibu tidak pernah mengharapkan balasan
Seorang ibu tidak pernah meminta bayaran
Seorang ibu hanya berharap yang terbaik untuk anaknya
Seorang ibu hanya menginginkan anaknya memiliki akhlak yang mulia
Seorang ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia
Kebahagiaan yang hakiki yaitu dunia dan akhirat
Anak Jalanan
Beban yang kau pikul terlalu berat
Tubuh kecilmu mulai merintih
Menolak semua beban yang engkau bawa
Tangan kecilmu mulai menyerah
Melampaikan kata perpisahan
Kaki kecilmu mulai gemetar
Menanggung semua beban yang engkau sandang
Mata sayumu mulai sembab
Meratapi beban yang engkau pikul
Mereka hanya melihat
Memperhatikan
Tanpa bertanya sedikitpun
Hanya beban di pundakmu
Yang menyemangatimu
Merangkulmu dengan erat
Menuju persimpangan jalan
Selamat Jalan
Hai
Apa yang ingin engkau cari tau
Itu hanya seikat rindu
Yang masih tersimpan rapi
Hanya segengam harapan
Yang mulai memudar
Hanya sekumpulan cerita
Yang tidak memiliki arti
Lalu apa yang kau inginkan?
Hanya air mata yang tersisa
Hanya sedikit harapan
Yang dipegang erat
Hanya tinggal doa yang diikrarkan
Terima kasih
Selamat jalan
Sajak Rindu
Ketika sunyi dalam malam bertemu
Yang di-ghibah-i adalah rindu
Yang disajikan hanyalah secangkir kopi
Fajar datang bertamu
Mengakhiri ghibah dalam rindu
Tidak ada yang berbeda malam ini
Kopi yang disajikan telah membeku
Meninggalkan asap yang mengepuh
Seperti biasa
Tamu masih semu
Aku, kamu
Masih saja jadi puisi rindu
Pagi
Kopi yang kusajikan kemarin
sudah dihabiskan?
atau masih kau biarkan begitu saja
Kertas yang di atas meja
sudah kautulis?
atau masih kau diamkan begitu saja
Terlalu banyak badai yang kita lewati
Tapi
kita tetap harus berjalan
bukan berhenti
tidak banyak yang harus kita bawa
cukup keyakinan dan cinta
Putaran Jam
Syukur Alhamdulillah
16 tahun sudah
Jiwa dan raga berkelana
Menderu, berjibaku
Menggoreskan tinta pena
Demi kau si penerus peradaban
16 tahun sudah
Kobaran api semangat terkadang padam oleh
tebasan pisau kata menghunjam relung
Cemeti cinta bangkit tenggelam dan timbul
demi kau si pemberi harapan
Berhentikah …? Tidak!
1948
Dunia ini tak lagi baik, saudara
Untuk kau goreskan sebuah kisah
Dunia ini tak lagi baik, sobat
Untuk kaulukis pada putihnya sebuah kanvas
Teriakan sudah kau pekikkan
Bahkan sampai ke sudut kota yang gemerlap
Bulir air mata sudah sering kau tumpahkan
Tetes demi tetes darah bahkan sudah mengucur
Pada tanah kering kerontang dan berdebu
Percuma tuan-tuan …
Sekali lagi, dunia ini tak lagi baik
Ssssssttt … tenang
Bukankah ini hanya singgah sebentar?
Sebentar lagi
Akan kuadukan semua rasa pada Sang Pemilik Jiwa
Sajadah Tak Bertuan
Kudekap tubuh dekil ini
Yang lama terhimpit debu tak berhati
Dingin menusuk menghunjam sampai ke relung
Sunyi semakin merasuk dinding-dinding sukma
Denting waktu berlari begitu cepat
Lama sudah …
Pandangan kosong hilir mudik
Mencari secuil asa menahan sesak rindu
Engkau di mana?
Sentuhan tangan lembut tak ada lagi
Indah kata berucap tak lagi ku perdengarkan
Bulir air matamu yang jatuh di tubuhku sudah lama mengering
Pergilah ke manapun … sejauh mungkin
Sampai tak ada lagi waktu tuk kembali
Deraian Air Mata
Raga yang pernah bangkit
Seketika hancur lebur tak tersisa
Melewati setapak jalan yang lurus
Di penghujung kau menancapkan duri yang menyisakan luka
Kesunyian kian menghantui
Mengisahkan genangan alunan syair yang penuh harapan
Membinasakan kehidupan abadi yang telah lama penuh kehangatan
Iringan mimpi dan doa telah menjadi duka
Hujan kian berderai kencang
Menertawakan setiap tetesan yang kian mengalir deras
Mimpi indah mengisahkan penuh kebahagiaan
Kini hanya tinggal kenangan sahaja
Tanpa Basa-Basi
Loyalitas tinggi tiada henti
Pintu maaf kian terkendali
Kesempatan yang diabaikan
Berkisah sejenak tanpa batas
Hanyalah buaian luaran sahaja
Harap kepastian membumbung tinggi
Jatuh bangun tak tertahan
Menorehkan luka tak henti-henti
Tiada disuguhi tanpa basa-basi
Lantas, enggankah tuk meminta maaf?
Sadari akan gesekan gesekan yang tak tersengaja
Singkat saja, semua tak perlu basa-basi
Hanya 1 kata maaf mampu mengubah duka
Keadaan pun menjadi damai
Lincah
Munafik? Tidak!
Materialistik? Tentunya iya!
Sewajarnya, manusia tiada yang abadi
Tiada luput dari suatu kebutuhan yang
mengharuskan tuk berjuang demi rupiah dan sesuap nasi
Waktu kian berputar
Bangkitlah atau kau akan lapuk oleh masamu sendiri
Kejar atau kau akan meratapi kisah yang tak mungkin kan terulang kembali
Gapai setinggi-tingginya atau
Kau akan meratapi nasib burukmu puluhan tahun kemudian
Sepatutnya jatuh bangun hanyalah ujian sesaat
Kemudikan jari jemarimu untuk kokoh
Agar sampai pada puncak keemasan dan kejayaan di masa tua nanti
Dekapan Hangat
Redupnya bulan tak seindah mentari bersinar cerah
Menerangi di segala penjuru hingga mengokohkan
yang bengkok menjadi tegap
Walau seketika awan menyapa kelam
Langit terlihat suram
Dekapan itu bagaikan hangat tanpa paksaan
Mampu menjaga bak lentera kehidupan di balik tirai
Meski tersembunyi dan tak ternilai
Tanpa pernah kautahu arti kehidupan
Melewati langkah demi langkah
Hingga kian melaju merambah ocehan yang tak mesti dihiraukan
Mengingatkan segalanya akan tetap mampu
Menjagaku dari hamparan kezaliman
Di antara sayatan lidah yang menusuk hingga ke akar
Dalam bentangan sayap, kukerahkan semua upaya
Tiada genggaman takkan mampu tuk diriku kembali melaju dan berproses
Hingga pada detik akhir perjuangan
Memaknai arti ketulusan
Tanpa perlu dihadapkan dengan rangkaian kata manis
Namun hanyalah alunan tangan yang terus
mengiringi dan jari jemari yang kian mengiringi tanpa memandang sudut belaka
Ibu
Kupanjatkan doa pada Sang Maha Kuasa
Pemilik Semesta Jiwa dan Raga
Inginku bersimpuh dan mengadu di hamparan kakimu
Menciummu dengan kehangatan
Kututurkan doa pada Ilahi Rabbi
Jika kesempatan itu mampu terulang kembali
Izinkan aku untuk memelukmu sekali sahaja
Namun semua itu takkan mungkin kembali
Kau telah pergi mendahuluiku
Mengharap dapat menemani di masa tua nanti
Kini diriku tinggallah sendiri
Ibu …
Andai waktu dapat kuputar kembali
Aku merindukan candaan itu
Kehangatan keluarga yang utuh kembali
Memimpikan dalam lamunanku, namun kini
impian hancur seketika engkau telah pergi membersamainya di surga
Dulu, engkaulah sosok yang tak tergantikan kini telah menggantikan posisimu dalam pikirannya
Kecewa Berselimut Rindu
Kekecewaan yang berubah menjadi dendam
Membawa pergi seluruh hati nurani
Yang kini ada hanya sepi
Sepi yang bertaburkan luka
Perumpamaan setan yang berwujud manusia
Hati menjadi belati
Yang berkelebat penuh rasa iri
Ada kalanya aku ingin menjadi merpati
Yang bisa bebas tenangkan diri
Andai saja diri ini menjadi sedikit lebih berarti
Tentu aku tak akan pernah lari
Lari dari kenyataan sendiri
Kenyataan yang tak kuingini
Aku pernah menjadi duri
Dan kau pernah menjadi bara api
Tapi, sekarang biarkan aku pergi
Sudah
Semenyakitkan itu?
Sudah di posisi paling buruk pun
Hadirmu sungguh MAHAL
Perihal rindu harus dibayar tuntas
Ternyata temu tidak mengobati rindu
Malah semakin membabi buta
Semoga kata tidak membebani
Aku hanya takut, itu saja
Kita tidak saling bersengketa
Tapi hati kita sama terluka
Cerita yang mestinya belum sirna
Bisakah dilanjutkan akhirnya?
Dinginku sudah mencair
Malah hangatmu yang membeku
Waktu
Terasa cepat bagi yang bahagia
terasa lambat bagi yang tersiksa
terasa sesak bagi yang gulana
terasa lama bagi yang menanti
Pun seandainya WAKTU bisa dibeli
Aku tak punya cukup uang untuk membeli waktu-mu
Pun perihal waktu bukan milik kita
Apanya yang dekat?
Jarak yang kaubuat
Banyak lisan yang tersirat
Sesak menggebu sesaat
Waktu tak kunjung mendekat
Malah makin berkelebat
Bertemu?
Sesaat?
Haha muslihat
Generasi Ambisius
Hai generasi Ambisius
Sudah terlalu banyak yang terlupakan
Kebersamaan dengan yang tersayang
Bertambah jauh dengan Illahi
Hai generasi Ambisius
Tak hirau akan diri
Berlari ke sana ke sini
Terjatuh pun tak peduli
Hai generasi Ambisius
Jangan lupa akan diri sendiri
Jangan lupa akan orang yang disayangi
Jangan lupa diri tak bisa sendiri
Hai generasi Ambisius
Melangkahlah tanpa lupa
perjuangan
Hidup adalah perjuangan
Ya ... perjuangan
Perjuangan untuk memperjuangkan
Memperjuangkan apa yang telah diperjuangkan
Tangis, amarah, putus asa, kebahagiaan
Itu semua belum disebut hasil
Ya … belum hasil perjuangan
Hahahaha
Perjuangan ... engkau tau apa
Perjuangan setelah berjuang
Berjuang untuk memperjuangkan
Memperjuangkan apa yang telah diperjuangkan
Tangis menjadi tawa
Amarah menjadi bahagia
Putus asa menjadi asa
Bahagia menjadi kecewa
Perjuangan tak akan pernah berhenti
Perjuangan tak akan pernah sederhana
Putus asa tak akan melahirkan asa
Perjuangan ... membersamai asa
Luka yang Manis
Teriakan itu tidak berarti
Teriakan itu ...
Aku terluka
Lihatlah aku
Aku terluka
Namun ...
Dunia tak dapat melihat seperti Tuhanku yang Maha Melihat
Namun ...
Dunia tak mendengar seperti Tuhanku yang Maha Mendengar
Dunia itu seperti buta
Dunia itu seperti tak mendengar
Itu manis, itu manis ... kenapa terluka?
Ya ... benar
Luka itu manis
Sudah tidak terasa lagi
Sukar dilupakan
Karena luka itu seperti abadi
Hai diri ... jangan biarkan terluka lagi
Takdir Tuhan
Sewaktu langit menangis sendu, aku terpaku
Ketika bumi mengadu pilu, jiwaku tebelenggu
Saat dunia tak bersamaku, jiwa ini meraung ragu
Haruskah aku melawan takdir?
Tapi ... takdir macam apa yang dapat kulawan?
Jika semua itu telah dituliskan tanpa paksaan
Akulah yang telah menerima dan tanpa sadar melupakan
terhadap semua yang telah ditentukan Tuhan
Ke mana harus kubawa raga ini
Terombang ambing tidak tahu diri
Menapaki jalan yang tak berarah
Yang sebenarnya membuat lelah
Menyerah mungkin hal yang termudah
Menyerah untuk jiwa yang lelah
Biarkan dan lepaskan, berhenti melawan
Ikuti kehendak Sang Pemilik Naskah Kehidupan
Anonim
Hanya syair hampa tanpa nama
Tentang rasa nyata yang tak berupa
Aku hampa dari rasa membuncah di dada
Oleh waktu yang meninggalkan luka
Sebuah cinta yang dapat menggugah hati
Menghancurkan emosi
Menyatukan harapan diri
Pada mimpi yang tak pasti
Bahkan langit tak selalu cerah
Kadang tak terlihat indah
Walau ada matahari yang tersenyum di sisinya
Tak ada yang sempurna
Saat hujan turun dengan derasnya
Siapa yang peduli
Jika saat itu hatiku juga sama
sama basahnya dengan rerumputan di luar sana
Terkadang keraguan datang tanpa melihat ruang
Keyakinan pun menghilang tanpa ada niat untuk pulang
Setiap tarikan napasku terasa sesak dan menyakitkan
Tangisku bukan lagi rengekan manja tanpa kata
Setiap kata yang terucap tergambarkan duka
Aku mencintai jiwa yang tak berwujud dan rasa yang tak berwarna
Fatamorgana
Ada yang harus ditinggalkan
Sebelum datang penyesalan
Ada yang harus dilupakan
Sebelum menjadi luka tak berkesudahan
Hidup bukan sekadar keinginan dan nafsu
Jangan mencintai mimpi yang semu
Agar bahagia bukan hanya sesuatu yang menggebu
Menutupi sedikit bahagia yang tertinggal di langit biru
Ada kalanya menjadi dewasa
Menimbulkan keegoisan yang hampa
Semua duka yang datang menghampiri
Meninggalkan sakit dari rasa sepi di hati
Hatimu menggebu
Dadamu berdebar
Bibirmu menampilkan senyum tidak tertahankan
Pada harapan semu akan bahagia yang tak bertahan
Karena semua yang terlihat tidak selalu nyata
Bisa saja semua itu hanyalah fatamorgana
yang mendustai mata
Hal yang mengacaukan juga membutakan
merusak otak dan menyesatkan
membuat lupa pada kenyataan
Ibuku Surgaku
Engkau wanita terhebat yang pernah aku tau ...
Mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkanku
Tiada kata yang bisa mewakili seorang ibu kepadaku
Tiada balasan yang setara yang bisa kuberikan padamu
Siang malam kau korbankan hidupmu untukku
Namun anakmu tak jarang menyakiti hatimu
Tapi ... mengapa hatimu begitu lembut, Ibu?
Kau masih memelukku erat dalam dekapan kasih sayangmu
Kini
Kulitmu hari demi hari mulai mengerut dan keriput
Rambutmu hitam perlahan mulai memutih
Fisikmu yang dulu kuat sekarang mulai lemah
Matamu yang dulu terang sekarang perlahan mulai rabun
Telingamu yang dulu nyaring, sekarang mulai samar
Namun hatimu tetap sama seperti dahulu
Sampai saat ini
Ya … hingga aku sebesar ini
Sepanjang pengorbanan hidupmu untukku
Aku belum bisa memberikan apa-apa untukmu
Maafkan anakmu 🙏🏻
Ibu
Setiap saat aku selalu mendoakanmu
Semoga Allah memberiku waktu untuk membahagiakanmu
Namun
jika saat nanti aku dipanggil lebih dahulu
Ku selalu berdoa untukmu
Ya Allah Ya Rabb, jika aku tak bisa membahagiakan ibuku, kumohon ya Allah agar engkau bahagiakan ibuku
Ibu
Aku mencintaimu
Aku menyayangimu
Hingga nanti
Akhir napasku sampai di surga
Salatlah Sebelum Disalatkan
Saat kamu ingin membangun rumah
Bangunlah pondasi yang kokoh
Untuk bangunan yang kuat
Sebagai tempat berlindung
Dunia hanya sementara
Akhirat selamanya
Salatlah
Salat adalah kunci utamanya
Salat adalah tiang agama
Salat adalah cerminan hidupmu
Salat adalah wujud ketaatanmu
Salat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar
Bertaubatlah wahai saudaraku
Mohon ampunlah kepada Allah
Karena panasnya neraka, takkan sanggup engkau tahan
Salatlah engkau sebelum disalatkan
Saat Senja Menyapa Rabb-Nya
Di kala langit memancarkan sinar jingga
Semua orang berhenti dari rutinitasnya
Meninggalkan segala hiruk pikuk dunia
Bersiap untuk menjawab panggilan Rabb-nya
Suara azan menggema di mana-mana
Seolah memanggil jiwa di manapun berada
Langkah kaki tak kenal irama
Tangan berayun menuju rumahnya
Barisan lurus dan rapat
Pikiran fokus pada akhirat
Meminta dan merayu malaikat
Agar dicatat amalan yang diperbuat
Semua orang meminta permohonan
Dengan lirih, sedih dan penuh kerenungan
Meminta ampunan
Pada Rabb yang punya kekuasaan
Jalan Surgaku, Menjadi Seorang Guru
Guru
Salah satu profesi mulia bagiku
Mengajarkan mereka agar tahu
Berbagai macam ilmu
Bagi mereka mungkin biasa saja
Namun sangat membanggakan bagiku
Bisa mengajarkannya berhitung dan membaca
Menumbuhkan nilai kebaikan pada muridku
Menjadi cahaya dalam kegelapan
Tumpuan nasib generasi masa depan
Karena menanamkan akidah dan keimanan
Agar kelak menjadi pembawa perubahan
Menjadi guru, bukan hanya tentang gaji
Tapi panggilan hati nurani
Mengharap rida Illahi
Mengerjakan amal jariyah
Pahala mengalir tanpa henti
Sahabat Pena
Terima kasih, teruntuk dirimu
Wahai sahabat penaku
Menjadi tempat ceritaku
Meluapkan apa yang terjadi pada diriku
Kita sama-sama menggoreskan tinta
Menceritakan apa yang kita rasa
Menghalau rasa sepi menerpa
Agar ada teman bercerita
Walau karena jarak kita tak bisa bersua
Aku merasa bersyukur kepadanya
Lewat goresan tulisan tinta pena
Kita bisa bertukar cerita suka dan duka
Terima kasih
Balasan surat bahagia dan sedih
Dengan tinta hitam dan kertas putih
Menjadi saksi, kau sahabat terkasih
Pantai Alam yang Indah
Iringan melodi air di tepi pantai
Ombak berkejar-kejaran menuju tepi
Angin bernyanyi mengikuti melodi
Lambaian nyiur menari-nari
Hamparan pasir putih berseri
Menyilaukan mata di siang hari
Barisan kapal nelayan berbaris rapi
Nelayan membawa rezeki anak dan istri
Matahari turun seolah menemui bumi
Memancarkan sinar jingganya yang indah
Meneduhkan pandangan menyejukkan hati
Berharap takkan pernah berubah
Namun sayang … dia hanya datang sehari sekali
Tak ingin dia pergi
Rindu
Aku rindu
Tentang bagaimana kita bertemu
Bersama sang angin lalu
Di kala senja kelabu
Aku rindu
Tentang bagaimana kita bersatu
Di kala dulu suka dan duka menyatu
Walau petir bergemuruh
Aku rindu
Tentang bagaimana kita berpisah
Mencapai impian dan cita-cita
Sampai saatnya kita melupa
Momen kecil yang kita cipta
Tapi, kerinduan itu tak berguna
Kamu telah pergi, entah ke mana?
Menyisahkan luka di sanubari
Membayang di bawah mentari
Kebudayaan Indonesia Hebat
Indonesiaku penuh akan budaya
Jutaan suku meliputinya
6 agama melingkupinya
Dan jutaan manusia mengaguminya
Siapa yang tidak bangga dengan budaya itu?
Warga asing saja iri terhadapnya
Dan mereka berusaha merebutnya
Terlebih budaya itu menyatukan NKRI
Aku bangga dengan budaya itu
Budaya itu kekayaan negeriku
Tak semua orang punya itu
Dan kita masih dapat mempertahankannya
Indonesia kaya akan budaya
Budaya yang begitu asli dan berkarakter
Yang membuat negaraku maju dan terkenal
Kebuadayaan Indonesia hebat
Menari Bersama Alam
Aku melihat sebuah mimpi
Keadaan tenteram menusuk sanubari
Momen indah dalam hidupku
Membuatku diam terpaku
Tiba-tiba angin berembus
Sejuk dengan aroma alami
Aku terhanyut pejamkan mata
Diiringi nyanyian alam getarkan jiwa
Hewan-hewan indah penuh rupa
Dengan bunga bermacam warna
Lebah madu menari bersama
Beriringan penuh ria
Lalu aku membuka mata dan terbangun
Mimpi indah yang membuatku tertegun
Secuil indah memori dalam hidupku
Kan kuingat selalu dalam hidupku
Apakah langit kita sama?
Jika benar sama
Apakah kamu melihat langit semalam?
Hanya sebentar, sekejap melihat keindahan itu
Lalu tertutup, seakan tak rela semua mata melihat
Atau hanya aku yang punya sedikit kesempatan
kesempatan merasakan keindahan
Semua terasa semu, terasa menusuk ke jantung
Hanya suara jangkrik sebagai penenang, ketika keindahan mulai tertutup oleh tak kerelaannya
Tiba-tiba sinar cahaya mengejutkanku
Suara-suara menggelegar sahut menyahut
Lamunan mulai terurai dari pikiran penuh dengan tanda tanya
Hai, keindahan
kapan aku bisa melihatmu kembali, mengapa kau menangis tersedu-sedu ... membasahi semuanya
Jangan biarkan keindahan itu tertutup kembali
Hai penguasa
Ini waktumu mencari kekosongan hati
dari kebingungan para pemberi suara
Gambarmu di mana-mana
Menghiasi sudut demi sudut kota maupun desa
Semakin membuat kerusakan alam
Debat demi debat memperlihatkan kehebatan
Tak ayal saling menjegal dan menyebar fitnah
Demi mendapatkan keawaman hati
Teruslah berjuang wahai penguasa
Sampaikan yang menurutmu benar
Beri setitik harapan bagi kekosongan hati
Hingga tujuanmu tercapai
Jari yang tak sabar membuka layar
Memulai dari gambar-gambar sangat memilukan
Gambar demi gambar melewati beranda
Pikiran mulai berkecamuk tak tentu arah
Marah, ya memang marah
Tapi apa yang harus dilakukan
Sedih, ya memang menyayat
Air mata hanya bisa menetes
Apa yang bisa dilakukan untuknya?
Aku bisa apa?
Apa yang harus aku lakukan?
Aku tak punya kuasa apa pun
Cukupkah dengan bersujud menyelamatkanmu
Cukupkah dengan berdoa menolongmu
Cukupkah dengan sedikit bantuan meringankanmu
Aku tak tau, hanya itu perjuanganku
Penguasa
Tuan yang berkuasa
Kita semua manusia biasa
Walau tak pernah bersua
Kami percayakan semua asa
Tuan yang berkuasa
Suara dan perintahmu menggema
Seruan untuk rakyatmu
Menentukan arah yang kautuju
Tuan yang berkuasa
Derajatmu melambung tinggi
Jika kau sepenuh hati
Membawa kemakmuran negeri
Amelina Junidar, 12 Juni 1992. Nama pena ‘Elina Ajrie’. Penggemar sejati Detective Conan, Power Ranger, dan Captain Tsubasa. Hobi coret-coret sejak kelas 3 SD.
Alhamdulillah, sudah melahirkan 20 antologi puisi-cerpen dan 7 buku puisi solo.
Pernah menjadi CEO penerbitan CV Ajrie publisher tahun 2015 – 2018 (setelahnya vakum sampai sekarang) dan menerbitkan ratusan judul buku secara indie. 2019 hingga sekarang, mengabdi sebagai seorang pendidik di SD Islam Al Azhar 67 Bukittinggi.
Facebook : Elina Ajrie II
Instagram : @amelinajunidar
WA : 081212229219
Istilah2 minang
Angek2 cik ayam > istilah untuk orang yang baru jadian, maksudnya masih hangat2 nya. Anak ayam gadih batalua > istilah untuk orang yang lebih sering absen daripada masuk sekolah. Lun takilek lah takalam > istilah untuk orang yang mampu membaca situasi Bantuak anjiang jo kuciang > istilah untuk orang yang selalu bertengkar Lalok2 ayam > istilah untuk orang yang pura2 tidur Lalok kabau > tidur yang sangat nyenyak Mati anjiang > mati dalam keadaan hina Itam paik > orang yang berkulit hitam dan jelek Itam manih > orang yang berkulit hitam tapi manis Bantuak anjiang basobok tulang > klop, cocok Rambuik ikua kudo > rambut kuncir Kuciang aia > pria playboy Kaki ayam > nyeker Anjiang kurok > orang yang berakhlak buruk dan berwajah jelek Cilalek > tahi lalat Pamadek labuah > orang yang ikut meramaikan acara Lapan tujuah / sakik utak / kanai > gila ...
Komentar