SEO STAT

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

buku Candrasengkala

Candrasengkala 3    Candrasengkala 3 Penulis : Amelina Junidar Penyunting : Tim Ajrie Publisher Layout: Tim Ajrie Publisher dan Tim Lovrinz Cover : Tim Lovrinz Diterbitkan oleh: CV Ajrie Publisher Jalan Binuang 16 RT/RW 007/001 Kelurahan Kayu Kubu Kecamatan Guguk Panjang Ngarai Sianok, Bukittinggi 26115 Dicetak oleh: Lovrinz Publishing 127 hal ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Kata Pengantar Untuk Sang Pemilik Taman. Untuk kekasih-Nya Sang Pemilik Taman. Untuk hamba-Nya Sang Pemilik Taman. Untuk para penikmat “Candasengkala 3” di manapun berada. Penulis  Daftar Isi Nawala 1 Sampai Jatuh 3 Sebab 4 Simpang Harapan 5 Soliloquy 6 Muridku 8 Kelas Pelangi 9 Si Pejuang 10 Perindu 11 Suamiku 12 Sekolahku 13 Pemimpin 14 Teman Sejawat 16 Masa Depan 17 Keluargaku 18 Jangan Menyerah 20 Hidup dan Mati 22 Fosfor Mungil 23 Perdebatan 24 Khan Yunis 26 Elegi Sup Lentil 28 Cerita si Aku (red: Marapi) 30 Puisi 1 31 Puisi 2 32 Puisi 3 34 Puisi 4 35 Puisi 5 37 Puisi 6 38 Puisi 7 40 Puisi 8 42 Puisi 9 43 Puisi 10 45 Puisi 11 46 Puisi 12 47 Puisi 13 48 Puisi 14 49 Puisi 15 50 Puisi 16 52 Puisi 17 56 Puisi 18 57 Selamat Tinggal Dunia 59 Akhir dari Penantian Panjang 60 Secercah Doa untuk Muridku 62 Cinta Tak Bersyarat 64 Anak Jalanan 66 Selamat Jalan 68 Sajak Rindu 69 Putaran Jam 71 1948 72 Sajadah Tak Bertuan 73 Deraian Air Mata 74 Tanpa Basa-Basi 75 Lincah 76 Dekapan Hangat 77 Ibu 79 Kecewa Berselimut Rindu 81 Sudah 82 Waktu 83 Generasi Ambisius 85 Perjuangan 86 Luka yang Manis 88 Takdir Tuhan 90 Anonim 92 Fatamorgana 94 Ibuku Surgaku 96 Salatlah Sebelum Disalatkan 99 Saat Senja Menyapa Rabb-nya 101 Jalan Surgaku; Menjadi Seorang Guru 103 Sahabat Pena 105 Pantai Alam yang Indah 107 Rindu 108 Kebudayaan Indonesia Hebat 110 Menari Bersama Alam 112 Puisi 19 113 Puisi 20 115 Puisi 21 116 Penguasa 117 Nawala Dengan sehelai baju celana bersama lengkingan cicak sahutan katak berdetak hembusan napas tidurmu aku rindu Setiap tarikan dan embusan juga irama helaan yang kau berikan aku akan pulang, menatap pejammu yang sayu antara terbuka dan tidak apakah kau memandangku ketika tidur? Atau rindu yang berlebihan? Kasurmu, bantalmu, selimutmu sudah merindukanku juga dinding kamarmu, melukis namaku aku akan pulang, menuju kamarmu untuk membayar rindu yang dihutangi jarak Sampai Jatuh Ini tak mendung hujan kelam yang datang ini kan hilang jua Siapa yang akan menanggung hujan malam yang diam tak salah jatuh hingga Subuh Tapak tapak yang dihapusnya akan datang dalam bentuk jejak kaki yang melangkahi dan mengangkangi sampai Subuh sampai jatuh   Sebab Suatu hari ada anak yang menyanyikan melodi pembuka ia tak bersuara sebab bisu Saban hari ia melihat keindahan tangan Tuhan ia tak melihat sebab buta Kadang suatu sore ia mendengar kidung selamat mati ia tak mendengar sebab tuli   Simpang Harapan Di simpang jalan berteduh rintik hujan di mata terus mengalir harapan untuk hadir Pergilah palung palung kesedihan … malam yang tak memaafkan manusia-manusia putus asa terempas dan menggelinding Janji-janji Tuhan tak pasti bagi tangan yang mengurai harapan   Soliloquy Akan ada waktunya untuk kita menyaksikan bunga matahari mekar dan menghasilkan camilan untuk kita nikmati di sore menjelang matahari lain tenggelam Kau dari dapur akan membawakan sepasang gelas dengan tadah anggrek berisikan teh yang kau seduh sepanjang hari demi mendapatkan aroma cinta Saat itu, udara sedang sejuk sore mematut tak berdaya Dan kita akan menyuarakan cinta,   Beranda yang kita tempati akan memberikan suasana kenyamanan, kasih, dan cinta aku akan membawa sepasang matahari kudapan dan keterangan cinta   Muridku Muridku … Engkau tau kenapa aku bisa di sini? Engkau tau kenapa aku bisa sekuat ini? Engkau tau kenapa aku bisa sesabar ini? Engkau tau kenapa aku bisa ceria ini? Walaupun diriku sakit … Tapi ada kehidupan yang seru di kelas ini Membuat badan ini sehat, Membuat hati ikhlas, Semua karena kau … Muridku sayang!   Kelas Pelangi Kehijauan meja kelasku Mengalahkan padang rumput yang rimbun Putihnya seragam seperti sucinya hati guruku Merah darahku yang bergejolak Biru yang menguatkan kesetiaan Wahai pelangi di pojok belakang kelasku Kau saksi kehidupan, warna kehidupanku Selamat tinggal Terima kasih untuk waktu setahunnya   Si Pejuang Berlari-lari … Supaya waktu tidak meninggalkannya Supaya anak tidak menangis mengikutinya Supaya jalan memberi ruang untuk dilewatinya Supaya pintu kelas terbuka untuknya Supaya murid menyambutnya Supaya kursi ada tuannya Supaya papan tulis dihiasi oleh tulisannya Supaya ilmu tersampaikan ke muridnya Semangat wahai diri pejuang Semangat wahai hati pejuang Semoga keberkahan menyelimuti   Perindu Anakku … Hadirmu menyesapi setiap darah di tubuhku Namun diri hanya beberapa kali bisa melihatmu Keheningan yang kurasakan Semoga hatiku dan hatimu bersatu Saling mengingat Saling menguat Saling sayang Saling butuh Saling merindu!   Suamiku Aku tahu amanah taklah kecil bagimu Yang Tuhan titipkan kepadamu Dia hadirkan aku untukmu Dia hadirkan anak kita Dia hadirkan keluarga kita Dia hadirkan kasih sayang Dia hadirkan keluh kesah di keluargamu Kaulah suamiku Tempat berceritaku Tempat bersandarku Tempat penghibur sedihku Tempat pelerai cemasku Wahai suamiku Bimbinglah aku hingga sampai ke Jannah-Nya   Sekolahku Gedung yang megah tinggi menjulang Kehijauan mata memandang Sejuk mendinginkan hati Tahun demi tahun berlalu Tinggallah kenangan Tingkah lucu menghiasi setiap sudut Tak jarang guru menegurku Sekolahku … Tempat membekali diri dengan ilmu Bergaul dengan teman Menghormati guru Hingga diri berguna seperti ini   Pemimpin Kau juga seorang manusia Memiliki nurani Memiliki perasaan Pikiran yang sehat Membawa sumpah dan janji jabatan Dengan tanggung jawab yang besar Pemimpin … Jika anggotamu berbuat kesalahan Tegurlah sewajarnya Lembutkan hatinya Redamkan emosinya Asalkan jangan jatuhkan harga dirinya Karena dia juga manusia   Pemimpin … Terima kasih sudah mengawasi, Memberi masukan Tapi jangan lupakan dirimu yang juga butuh itu!   Teman Sejawat Dari terbit sampai tenggelam matahari Setiap hari Sepanjang waktu Kita bersua Melaksanakan tugas yang amanah Sesuai tuntunan yang tak mau kalah Sesuai jam kerja yang tak mengenal lelah Aktivitas yang selalu ada Membuat kita berjalan bersama Menaungi samudera kehidupan kerja Semangat wahai teman sejawat Mari kita berpegang erat Menuntaskan jadwal yang padat   Masa Depan Angan yang tak mau kalah Tubuh yang tak mau lelah Kaki yang terus melangkah Tangan yang mau membantu meraih Dia ada di depan mata Meraih cita-cita Ayolah maju pejuang tercinta Biarkan masa lalu hanya menyapa Tidak ada yang sia-sia Nan jauh di sana tersirat sebuah cahaya Menunggu kau menggenggamnya   Keluargaku Keluargaku … Ibu yang selalu sibuk membereskan rumah Ayah yang tak pernah marah Kakak yang mau berangkat sekolah Adik berebutan mandi tak mau kalah Keluargaku … Harta yang tak ternilai harganya Kasih sayang yang tiada tara Kehidupan yang bahagia Tak bisa ditemukan di mana-mana Kelurgaku … Setiap hari ada cerita dan ceria Banyak kisah dan makna   Keluargaku … Kerukunan Kebersamaan Ada di keluargaku!   Jangan Menyerah Bangun! Ini belum apa apa, kawan Bahkan belum seujung kuku Dari pelanginya atma yang ranum muslihat Dari angkuhnya bahumu yang ringkih itu meringkuk memaksa Ini belum apa apa, kawan Kau tahu? Bukan kau paling menderita Jikalau inderamu tiasa sempurna tanpa cacat cela Jangan sekali kali merasa Kaulah yang paling durja Dunia tak hanya berputar di bawah telapakmu saja Sungguh, kau bahkan belum tentu diakui sebagai tatanan dunia Bagian dari tata surya Ini belum apa apa kawan Kita masih Indonesia Belum jadi Palestina Kau yakin masih merasa sedemikian lena? Seolah segalanya masih baik baik saja   Hidup dan Mati Apa kabar hidup? Masihkah hidup dalam hidup dan kehidupan Ataukah telah mati dalam kematian? Jikalau mati dalam kehidupan Duh, betapa engkau sungguh kasihan Layaknya hidup dalam jiwa tak bertuan Tak bertujuan Hilang genggam arah pedoman Jikalau juga berbalik tawan Hidup dalam kematian Niscaya indah surga belian Walau telah dipagut sang zaman Berpulang kepada Pemilik Halaman Menggema getar agung serpihan Segala kebaikan si empunya hanan   Fosfor Mungil Memaku, jiwa kecil Langit menatap putih Menumpang tanya telunjuk ringkih Mengiba, siapa? Serempak, kepala mencari-cari Pabila terselip isak Antara puing dan reruntuhan Ah! Menjalar Asing makin menggamit Mengakar, mengari-ari Tulang-daging menyelasar, merah putih kental menggusar Pekik geraham dan detak langit-langit bersaliva Menghunjamkan neraka ke atas dunia fana Oh Sang Penilik Seni Terindah di Dunia Bagaimana kabar mereka? Perdebatan Netra perlahan mengabu Menatap perkelahian bukit dan awan Yang berlomba menciptakan karya seni Seenak saja menyalahi keinginan langit Memadu perselisihan warna Mengabung udara dalam hitamnya jelaga Kepala kepala di bawah sana ternganga Sekawanan rumput berkumpul Bertanya-tanya Kapan kau akan berhenti Mengapa masih saja bertanya-tanya Sedangkan kau pelaku jua korbannya Berhentilah bertanya, mengapa dan bagaimana Karena kaulah yang punya jawabnya Jangan buat sang gunung termangu Bahkan untuk tidak tahu dalam ketidaktahuanmu Bukankah tiada yang lebih lucu daripada yang demikian itu? Jangan pura pura akal tak tahu berada di mana tempatnya Sampai kini kau tiasa batuk Serak, berdahak Sudah tiap sebentar bulir bulir awan itu menghujanimu Malah bertambah sakit tenggorokmu Andai bisa mendekapmu Melegakan hati dan rasamu Yang bergejolak menahan carut di dalam rongga Maafkan mereka Yang memberimu duka dan tiada menjaga Hanya memandang, merusak pesonamu lantas meninggalkan jelaga   Khan Yunis Tepung remahan itu ia letak di atas tungku Berpagut kehangatan angin Deru debu merkava dan perkelahian antar selongsong Sahut menyahut bagai orkestra kunang-kunang di halaman belakang Kala malam memaksa siang untuk berpulang Di hadapan moncong galil nan menyerocos tanpa lebam Beberapa pasang langkah enggan berdiam Ke sana ke mari gaung-menggaungkan Tiba saatnya memenuhi undangan Pertemuan indah dengan Sang Pemilik Taman Biar mereka yang tertinggal sendiri dalam tawan Menunggu purnama sampaikan pemberitahuan Pada siluet putih di pinggiran malam Bum! Undangan berikutnya Tumpukan kemeja dan gaun putih itu Menjejal tubuh-tubuh suci idaman Busana kebesaran kesukaan Sang Pemilik Taman Tiba saatnya memenuhi perjamuan Yang selama ini slalu dijanjikan Firdaus merentang membuka dekapan Meja penuh saj* dan laffa* disajikan   Elegi Sup Lentil Para periuk berdesakan Menanti keroncong beralih senandung Dandang merekah senyum Pesan kehangatannya menyapa langit yang duduk termangu menanti kain warna warni itu bergelut mesra Bersama angin yang gemar bercanda Aku tak di sana Kami bahkan tak saling sapa Seru sebuah kain berbicara Penjelasannya menghentikan candaan angin yang itu-itu saja Padahal kami hampir sama, mengapa aku saja yang dilamun secara nyata dan tertata? Ah, hampir lupa Giliran mangkuk hitam tua itu menadahkan rupa Beberapa butir kebahagiaan mengepul Piring piring lain yang masih bermuram durja Maju menyesak kerumunan, bertanya masih adakah?   Cerita si Aku (red: Marapi) Aku sakit Sesuatu menyekat di dalam sini Mencabik ari Mengunci sendi Menggelegak sulbi Tolong berhenti, pintanya Pada beberapa kepala yang menengadah Menumpangkan tanya Lantas menyimpul jawab Beberapa mengernyit Tolong berhenti, pintanya Aku tak mau, sungguh Enggan menghitam semesta Hanya supaya dirimu dirinya mereka Sadar dari alpa jua papa Tolong berhenti, pintanya Nablus Bum! Alunan piringan hitam itu kembali Menggema membelai telinga Merdu bagai buluh perindu Menyentuh sanubari Apalagi jika mengingat kata kata manis Sang Pemilik Halaman Memaksa dinding dinding memagut para penghuni Menenggelamkan kepala kepala dalam rasa Mengalirkan riak riak segar Membasuh wajah bumi pertiwi Yang riang gembira menyambut kekasih hati Kemarilah sayang, bukankah aku memang diciptakan untuk menggamit kehadiranmu?   Mahsyar Hari itu Matahari tengah menampakkan kesombongan Merangkul memeluk lingkar tengkorak Rambut bernyanyi sumbang Bertanya kapan dan bagaimana Marah memasung rahang Mengapa aku mengapa aku Bukan aku bukan aku Jemari jemari saling mendelik Bertahan dalam lautan api Jantung paru ginjal hati Berdiskusi meminta dispensasi Biarkan kami pergi Jangan seperti ini   Lantas kau tahu apa kata Sang Pemilik Taman? Selamat datang di tengah padang Hanya itu lantas berlalu Meninggalkan si aku yang menyaksikan Perkelahian rambut, tangan, kaki Jantung, ginjal, paru hati   Hikayat Sang Gagak Enak! Sang gagak dan teman-teman berteriak kesenangan Menatap tumpukan daging yang seolah memanggil manggil sesuai giliran Enak! Bagaimana bisa? Lalapan menyelip di setiap tulang Masih berbungkus safari coklat dan mesiu galil Enak! Para gagak menggelepar kekenyangan Padahal beberapa daging masih menunggu dengan setia Belum lagi di wilayah tungkai dan usus Lezat tanpa bumbu dan penyedap rasa Sudahlah, kita sisakan untuk besok saja! Seru pemimpin gagak lantas menyelimuti daun pisang Kisah Sang Marapi Uhuk! Uhuk! Ia kambuh lagi ketika pagi baru saja menampakkan pipi berseri bersemu merah Padahal beberapa lama, Sang Pemilik Taman telah menghidangkan bergelas-gelas air putih Meredakan panas seluk beluk jiwanya Yang menggelegak menyaksi Laku beberapa kepala di bawah sana Masih saja angkuh, congkak berkacak Bagaimana jika ia akhirnya menyerah? Bukankah ini saatnya kembali merayu Sang Pemilik Taman Untuk sedikit saja menghadiahkan segenggam iba Di pucuk tangan-Nya yang tiada tara Selamat datang, kasih Akhirnya renggang tanganmu mampu mengisi   Apakah kau paham kesendirianku Dalam derik derik kegelisahan Engkau menabur bunga dalam kepedihan Aku berusaha meraih sekuat tenaga Dalam diam yang tak bisa kau artikan Aku berteman dengan sepi Dengan kepedihan yang mengoyak jiwa Aku hancur dalam kepingan kepingan kepedihan Aku terluka   Seiring lembayung senja Ku duduk di sini Deburan ombak mengalun merdu Lihat ombak itu saling berkejaran Kamu di mana? Biasa kita di sini Menikmati karunia indah Ilahi Kamu di mana? Biasa kita di sini Menatap sang mentari berlalu Kamu di mana? Setiap hari kutunggu Sudah sekian senja berlalu Sementara ... Aku masih dalam penantian yang sama Tak rindukah kamu? Senda gurau kita di sini Di senja nan indah ini Aku rindu Rindu melihat senyum manismu Semanis senja di pantai ini   Kupikir aku bisa Kupikir aku telah mengubur dalam cinta Kupikir aku telah menghapus asa dan harapan Detik demi detik berlalu Dan haripun telah berganti Telah lama sejak tekadku Untuk tidak mencintaimu Untuk tidak mengharapkanmu Kini nyatanya aku masih tidak menghapus bayangmu Kupikir aku telah berhasil Kupikir aku bisa Bisa untuk melupakan cintaku Dan bisa untuk melupakan janji kita untuk menunggu Kupikir aku bisa Nyatanya kini aku masih dengan cinta yang dulu Nyatanya kini aku masih dengan harapan yang sama Kupikir aku bisa Nyatanya tidak bisa Di matamu terukir keindahan Memanah hati Hingga aku ingin terus menatap Tapi kau tak sudi Kau berpaling, Memunggungiku Dan menggenggam tangannya   Kita bertemu sebagai orang asing Lalu berkawan seperti saudara Layaknya saudara kandung Manalah akan rela diri ini Melepas saudara untuk orang asing Untuk orang yang tak pernah diri ini melihat rupa dan tingkahnya Yang diri ini tau hanyalah lewat cerita   Aku beri cinta yang tulus Tapi kau hanya memberi harapan Kau suruh aku menunggu Tapi kau mencoba berpaling Kubawa segenggam bunga untukmu Kaubuang bunga itu Kuberi senyum termanis Kau melenguh dengan muka yang masam Kuucapkan salam bahagia Kau acuhkan aku Tapi aku Aku masih dalam cinta yang sama   Sekian tahun berlalu, aku masih dalam harap yang sama Waktu bergulir, tapi cintaku masih tak lapuk Katanya hujan kan mengikis bebatuan Rasa sakit tak mengikis perasaanku Aku masih membatu dalam cinta yang sama Berulang kali hati ini sakit Tapi ia masih memberi ruang untuk kasih yang sama Aku takkan bertanya mengapa kamu enggan padaku Karena aku juga tak bisa bertanya pada hatiku, kenapa ia masih dalam cinta yang sama Ciputat   Kakak beradik sedang menangis Menangisi seorang anak gadis di perantauan Kakak beradik itu adalah ibu si gadis dengan bibi si gadis Tapi si gadis tidak tau bahwa mereka sedang menangis Karena terakhir bicara, kakak beradik tidak menangis   Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya Kasih sayang kakak kepada adiknya Kasih sayang bibi dan paman kepada keponakannya Tapi yang dikasih sedang bersedih Terpenjara oleh dirinya sendiri Kapan ia akan membalas budi Dan yang dikasih memendam rindu seorang diri   Ia ingin menyapa, tapi ia tak bisa Ia ingin merentangkan kedua tangannya, memeluk yang ia yang sudah pergi Tapi yang pergi takkan kembali Dan ia hanya bisa menyudut Membisu dalam keheningan malam   Mencoba berjalan perlahan Dengan hati yang luka Mengindahkan rasa sakit yang ada Mencoba bertahan untuk sebuah impian Meski luka sedang merobek jiwa Mencoba memberi senyuman untuk mereka yang telah membantuku berjalan Meski sebenarnya aku sedang pilu Karena aku tidak bisa menggenggam satu nama   Ada pilihan untuk mundur Tapi aku akan tetap memilih maju Sebenarnya ada getir di hati Tapi aku tidak peduli Kan kusiapkan bekal terbaikku Semoga Tuhan memberi restu   Sejauh ku melangkah Sejauh ku tertatih Kadang letih melanda jiwa Sempat terpikir untuk berhenti Tapi teringat mereka yang menanti Menanti dengan harapan pasti Aku letih Jiwaku meronta Mengapa apa yang kucari Masih belum kutemui Aku kembali berdiri Menggamit seuntai harapan dan doa Mengepalkan kembali semangat dan asa Mengukuhkan hati agar tetap tegar   Untukku, untuk mereka Semoga Tuhan merestui Menjadi bekal untuk di akhirat kelak   Dia kehilangan arah untuk melangkah Dia tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri Dia membeku Bahkan untuk mengeluarkan air mata, dia harus bertanya “Bolehkah aku menangis?” Tolong, Biarkan dia memilih jalannya sendiri Melakukan apa yang dia suka Dia tidak akan berpaling Dia hanya ingin memilih Dan tau artinya pilihan   Terkadang kita hanya perlu waktu Mengatakan pilihan Maju bergerak, mendayung harapan Atau mundur, melangkah pergi Membawa sejuta kenangan Bukan memberi sejuta kenangan Atas kasih yang telah tercurah Atas rindu yang belum terbayar Apa hendak dikata Sampan ini ternyata sudah rusak Bagaimana hendak mendayung? Sayang tak ada lagi pilihan Berenang ke tepian pun tak bisa   Duduk Tenang di Sampingku, Aku adalah Rumahmu Berhentilah di rumah yang kudirikan ini ruang yang tidak luas untuk kita yang resah duduk tenang di sampingku, aku adalah rumahmu setiap bisikan di dalam rumah ini adalah kata-kataku yang berubah menjadi nyanyian agar ruangnya tidak membuat atmamu sunyi terlalu banyak kata yang menangis di dalam mulutmu dan tiada yang mampu meminjamkan telinga dan aku tau itu hakikatnya, kau, aku, dan semua yang pernah sedih di sini namun, selagi nadiku tidak memilih untuk berhenti peluk kita adalah aman dan nyaman dan akan kuruntuhkan duniamu di atas kepala supaya gelapnya menjadi butiran debu yang lenyap karena aku pernah ada di jalanmu dan aku tidak ingin lagi kamu ke situ   “Aku berkelana dalam pelukanmu saat risau yang datang tak terbendung olehku lalu tuan, kenapa aku tidak bisa lupa dengan nyamanmu?” saat aku berkelana dalam waktu patahku damai suaramu kudengar seperti nyanyian romansa lalu juwita apakah kamu pikir aku juga bisa lupa? genggamlah jiwaku Tuan, agar hangatmu dan dinginku senantiasa menjadi satu dan … dan lebih dari itu, kan kuhayati sinar matamu yang kutemukan rumahku   Barangkali pada tanganmu mengalir deras lirik puitis dan aku menyambutnya dengan tangan yang penuh dengan goresan romantis lalu dengan sentuhan Tuhan gugurlah intuisi pada rasa kita yang menyatu dan menetes setiap ketukan pada rasa rindu terciptalah lagu yang jika didengarkan oleh bunga maka ia akan tumbuh cantik sehebat itu kau kukagumi menjadi sebahagian seni dalam hidupku yang membuat kita satu-satunya pasangan semesta yang menari ria untuk lagu kita sendiri  Jika kamu bertanya pada sang rembulan tentang apa yang kulakukan, mungkin ia akan menjawab Saat malam dan dingin menyatu dan tentu ada bintang-bintang dan aku, kamu sedang melihat kertasnya yang kosong dan pada saat itu aku akan mulai merasakan cemburu “Kenapa cemburu?” “Bagaimana tidak, cahayaku yang selalu menerangi malamnya, tetapi tetap namamu yang menjadi puisinya dan yang dibaca sebelum tertidur.” dan di sini kutuliskan sebuah pengakuan, saat indahmu kucintai dan kukagumi, kau kujadikan puisi   Selamat Tinggal Dunia jika nanti hidupku sudah berakhir selamat tinggal kuhaturkan pada hujan yang sering menjelma dalam puisiku pada setiap pepohon tempat berteduh selamat tinggal pada bintang dan rembulan yang sunyi untuk setiap malamku selamat tinggal pada semua yang disebut rumah dan pada semua yang pernah menjadi satu yang pernah tak usah habiskan waktumu untuk merindu terus baca puisiku yang sedang kesunyian dan ketahuilah aku juga bisa merindu setiap tentangku juga ikut berakhir dan aku berharap, kamu tidak ikut pergi   Akhir dari Penantian Panjang Lima tahun lamanya Itu bukanlah waktu yang sangat singkat Di saat lisan selalu meminta Di saat hati selalu berharap Di saat langkah sudah mulai goyah Hal itu tidaklah mudah Setiap saat Setiap waktu Bahkan setiap embusan napas Pertanyaan itu selalu mengganggu pikiran dan ketenangan Bukannya tidak mau Atau tidak berusaha semampuku Tapi semua itu karena belum waktunya Dan semua itu adalah kehendak-Nya Aku yakin, Allah tidak pernah tidur Aku yakin, Allah tidak pernah lengah Allah selalu mendengar setiap jeritan hamba-Nya Allah selalu punya rencana di luar sepengetahuan kita Hingga tibalah waktunya Saat Allah berkehendak Saat Allah menjawab semua doa-doa kita Maka InsyaAllah kebahagiaan itu pasti akan datang   Secercah Doa untuk Muridku Muridku … Aku memang tidak sempurna Aku memang tidak punya apa-apa Aku hanya manusia biasa Yang tidak pernah luput dari kesalahan Maafkan aku jika terkadang masih ada amarah Maafkan aku jika terkadang membuat luka Tapi jauh di lubuk hati, semua itu kulakukan Hanya ingin melihat kalian bahagia Hanya berharap kalian menjadi orang yang berguna Jangan lelah saat ku menasehatimu Jangan kesal saat ku memarahimu Jangan dendam saat ku menegurmu Semua itu tak lain dan tak bukan kulakukan demi kebaikan Ya Allah Jadikanlah para muridku ini menjadi orang-orang yang berakhlak mulia Jadikanlah para muridku menjadi manusia yang berguna dalam setiap kehidupannya Izinkan mereka sukses dalam mencapai cita-citanya Izinkan mereka bahagia di dunia dan akhiratnya   Cinta Tak Bersyarat Ibu Di saat seorang mulai memanggilku dengan kata itu Muncullah beribu rasa dalam hati Ada rasa bahagia, Ada rasa haru Dan bahkan ada rasa takut Bahagiaku karena memiliki harta yang amat berharga Haruku karena diberi kepercayaan oleh Yang Esa Takutku jika tidak bisa melaksanakan amanah sebaik-baiknya Tapi, ku akan selalu berusaha Berusaha memberikan yang terbaik untukmu, anandaku Menjadi ibu tidaklah mudah Butuh perjuangan Keikhlasan Bahkan pengorbanan yang sangat besar Seorang ibu tidak pernah mengharapkan balasan Seorang ibu tidak pernah meminta bayaran Seorang ibu hanya berharap yang terbaik untuk anaknya Seorang ibu hanya menginginkan anaknya memiliki akhlak yang mulia Seorang ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia Kebahagiaan yang hakiki yaitu dunia dan akhirat   Anak Jalanan Beban yang kau pikul terlalu berat Tubuh kecilmu mulai merintih Menolak semua beban yang engkau bawa Tangan kecilmu mulai menyerah Melampaikan kata perpisahan Kaki kecilmu mulai gemetar Menanggung semua beban yang engkau sandang Mata sayumu mulai sembab Meratapi beban yang engkau pikul Mereka hanya melihat Memperhatikan Tanpa bertanya sedikitpun Hanya beban di pundakmu Yang menyemangatimu Merangkulmu dengan erat Menuju persimpangan jalan   Selamat Jalan Hai Apa yang ingin engkau cari tau Itu hanya seikat rindu Yang masih tersimpan rapi Hanya segengam harapan Yang mulai memudar Hanya sekumpulan cerita Yang tidak memiliki arti Lalu apa yang kau inginkan? Hanya air mata yang tersisa Hanya sedikit harapan Yang dipegang erat Hanya tinggal doa yang diikrarkan Terima kasih Selamat jalan Sajak Rindu Ketika sunyi dalam malam bertemu Yang di-ghibah-i adalah rindu Yang disajikan hanyalah secangkir kopi Fajar datang bertamu Mengakhiri ghibah dalam rindu Tidak ada yang berbeda malam ini Kopi yang disajikan telah membeku Meninggalkan asap yang mengepuh Seperti biasa Tamu masih semu Aku, kamu Masih saja jadi puisi rindu Pagi Kopi yang kusajikan kemarin sudah dihabiskan? atau masih kau biarkan begitu saja Kertas yang di atas meja sudah kautulis? atau masih kau diamkan begitu saja Terlalu banyak badai yang kita lewati Tapi kita tetap harus berjalan bukan berhenti tidak banyak yang harus kita bawa cukup keyakinan dan cinta   Putaran Jam Syukur Alhamdulillah 16 tahun sudah Jiwa dan raga berkelana Menderu, berjibaku Menggoreskan tinta pena Demi kau si penerus peradaban 16 tahun sudah Kobaran api semangat terkadang padam oleh tebasan pisau kata menghunjam relung Cemeti cinta bangkit tenggelam dan timbul demi kau si pemberi harapan Berhentikah …? Tidak!   1948 Dunia ini tak lagi baik, saudara Untuk kau goreskan sebuah kisah Dunia ini tak lagi baik, sobat Untuk kaulukis pada putihnya sebuah kanvas Teriakan sudah kau pekikkan Bahkan sampai ke sudut kota yang gemerlap Bulir air mata sudah sering kau tumpahkan Tetes demi tetes darah bahkan sudah mengucur Pada tanah kering kerontang dan berdebu Percuma tuan-tuan … Sekali lagi, dunia ini tak lagi baik Ssssssttt … tenang Bukankah ini hanya singgah sebentar? Sebentar lagi Akan kuadukan semua rasa pada Sang Pemilik Jiwa Sajadah Tak Bertuan Kudekap tubuh dekil ini Yang lama terhimpit debu tak berhati Dingin menusuk menghunjam sampai ke relung Sunyi semakin merasuk dinding-dinding sukma Denting waktu berlari begitu cepat Lama sudah … Pandangan kosong hilir mudik Mencari secuil asa menahan sesak rindu Engkau di mana? Sentuhan tangan lembut tak ada lagi Indah kata berucap tak lagi ku perdengarkan Bulir air matamu yang jatuh di tubuhku sudah lama mengering Pergilah ke manapun … sejauh mungkin Sampai tak ada lagi waktu tuk kembali   Deraian Air Mata Raga yang pernah bangkit Seketika hancur lebur tak tersisa Melewati setapak jalan yang lurus Di penghujung kau menancapkan duri yang menyisakan luka Kesunyian kian menghantui Mengisahkan genangan alunan syair yang penuh harapan Membinasakan kehidupan abadi yang telah lama penuh kehangatan Iringan mimpi dan doa telah menjadi duka Hujan kian berderai kencang Menertawakan setiap tetesan yang kian mengalir deras Mimpi indah mengisahkan penuh kebahagiaan Kini hanya tinggal kenangan sahaja Tanpa Basa-Basi Loyalitas tinggi tiada henti Pintu maaf kian terkendali Kesempatan yang diabaikan Berkisah sejenak tanpa batas Hanyalah buaian luaran sahaja Harap kepastian membumbung tinggi Jatuh bangun tak tertahan Menorehkan luka tak henti-henti Tiada disuguhi tanpa basa-basi Lantas, enggankah tuk meminta maaf? Sadari akan gesekan gesekan yang tak tersengaja Singkat saja, semua tak perlu basa-basi Hanya 1 kata maaf mampu mengubah duka Keadaan pun menjadi damai Lincah Munafik? Tidak! Materialistik? Tentunya iya! Sewajarnya, manusia tiada yang abadi Tiada luput dari suatu kebutuhan yang mengharuskan tuk berjuang demi rupiah dan sesuap nasi Waktu kian berputar Bangkitlah atau kau akan lapuk oleh masamu sendiri Kejar atau kau akan meratapi kisah yang tak mungkin kan terulang kembali Gapai setinggi-tingginya atau Kau akan meratapi nasib burukmu puluhan tahun kemudian Sepatutnya jatuh bangun hanyalah ujian sesaat Kemudikan jari jemarimu untuk kokoh Agar sampai pada puncak keemasan dan kejayaan di masa tua nanti Dekapan Hangat Redupnya bulan tak seindah mentari bersinar cerah Menerangi di segala penjuru hingga mengokohkan yang bengkok menjadi tegap Walau seketika awan menyapa kelam Langit terlihat suram Dekapan itu bagaikan hangat tanpa paksaan Mampu menjaga bak lentera kehidupan di balik tirai Meski tersembunyi dan tak ternilai Tanpa pernah kautahu arti kehidupan Melewati langkah demi langkah Hingga kian melaju merambah ocehan yang tak mesti dihiraukan Mengingatkan segalanya akan tetap mampu Menjagaku dari hamparan kezaliman Di antara sayatan lidah yang menusuk hingga ke akar Dalam bentangan sayap, kukerahkan semua upaya Tiada genggaman takkan mampu tuk diriku kembali melaju dan berproses Hingga pada detik akhir perjuangan Memaknai arti ketulusan Tanpa perlu dihadapkan dengan rangkaian kata manis Namun hanyalah alunan tangan yang terus mengiringi dan jari jemari yang kian mengiringi tanpa memandang sudut belaka   Ibu Kupanjatkan doa pada Sang Maha Kuasa Pemilik Semesta Jiwa dan Raga Inginku bersimpuh dan mengadu di hamparan kakimu Menciummu dengan kehangatan Kututurkan doa pada Ilahi Rabbi Jika kesempatan itu mampu terulang kembali Izinkan aku untuk memelukmu sekali sahaja Namun semua itu takkan mungkin kembali Kau telah pergi mendahuluiku Mengharap dapat menemani di masa tua nanti Kini diriku tinggallah sendiri Ibu … Andai waktu dapat kuputar kembali Aku merindukan candaan itu Kehangatan keluarga yang utuh kembali Memimpikan dalam lamunanku, namun kini impian hancur seketika engkau telah pergi membersamainya di surga Dulu, engkaulah sosok yang tak tergantikan kini telah menggantikan posisimu dalam pikirannya   Kecewa Berselimut Rindu Kekecewaan yang berubah menjadi dendam Membawa pergi seluruh hati nurani Yang kini ada hanya sepi Sepi yang bertaburkan luka Perumpamaan setan yang berwujud manusia Hati menjadi belati Yang berkelebat penuh rasa iri Ada kalanya aku ingin menjadi merpati Yang bisa bebas tenangkan diri Andai saja diri ini menjadi sedikit lebih berarti Tentu aku tak akan pernah lari Lari dari kenyataan sendiri Kenyataan yang tak kuingini Aku pernah menjadi duri Dan kau pernah menjadi bara api Tapi, sekarang biarkan aku pergi   Sudah Semenyakitkan itu? Sudah di posisi paling buruk pun Hadirmu sungguh MAHAL Perihal rindu harus dibayar tuntas Ternyata temu tidak mengobati rindu Malah semakin membabi buta Semoga kata tidak membebani Aku hanya takut, itu saja Kita tidak saling bersengketa Tapi hati kita sama terluka Cerita yang mestinya belum sirna Bisakah dilanjutkan akhirnya? Dinginku sudah mencair Malah hangatmu yang membeku Waktu Terasa cepat bagi yang bahagia terasa lambat bagi yang tersiksa terasa sesak bagi yang gulana terasa lama bagi yang menanti Pun seandainya WAKTU bisa dibeli Aku tak punya cukup uang untuk membeli waktu-mu Pun perihal waktu bukan milik kita Apanya yang dekat? Jarak yang kaubuat Banyak lisan yang tersirat Sesak menggebu sesaat   Waktu tak kunjung mendekat Malah makin berkelebat Bertemu? Sesaat? Haha muslihat   Generasi Ambisius Hai generasi Ambisius Sudah terlalu banyak yang terlupakan Kebersamaan dengan yang tersayang Bertambah jauh dengan Illahi Hai generasi Ambisius Tak hirau akan diri Berlari ke sana ke sini Terjatuh pun tak peduli Hai generasi Ambisius Jangan lupa akan diri sendiri Jangan lupa akan orang yang disayangi Jangan lupa diri tak bisa sendiri   Hai generasi Ambisius Melangkahlah tanpa lupa perjuangan Hidup adalah perjuangan Ya ... perjuangan Perjuangan untuk memperjuangkan Memperjuangkan apa yang telah diperjuangkan Tangis, amarah, putus asa, kebahagiaan Itu semua belum disebut hasil Ya … belum hasil perjuangan Hahahaha Perjuangan ... engkau tau apa Perjuangan setelah berjuang Berjuang untuk memperjuangkan Memperjuangkan apa yang telah diperjuangkan Tangis menjadi tawa Amarah menjadi bahagia Putus asa menjadi asa Bahagia menjadi kecewa Perjuangan tak akan pernah berhenti Perjuangan tak akan pernah sederhana Putus asa tak akan melahirkan asa Perjuangan ... membersamai asa   Luka yang Manis Teriakan itu tidak berarti Teriakan itu ... Aku terluka Lihatlah aku Aku terluka Namun ... Dunia tak dapat melihat seperti Tuhanku yang Maha Melihat Namun ... Dunia tak mendengar seperti Tuhanku yang Maha Mendengar Dunia itu seperti buta Dunia itu seperti tak mendengar Itu manis, itu manis ... kenapa terluka? Ya ... benar Luka itu manis Sudah tidak terasa lagi Sukar dilupakan Karena luka itu seperti abadi Hai diri ... jangan biarkan terluka lagi   Takdir Tuhan Sewaktu langit menangis sendu, aku terpaku Ketika bumi mengadu pilu, jiwaku tebelenggu Saat dunia tak bersamaku, jiwa ini meraung ragu Haruskah aku melawan takdir? Tapi ... takdir macam apa yang dapat kulawan? Jika semua itu telah dituliskan tanpa paksaan Akulah yang telah menerima dan tanpa sadar melupakan terhadap semua yang telah ditentukan Tuhan Ke mana harus kubawa raga ini Terombang ambing tidak tahu diri Menapaki jalan yang tak berarah Yang sebenarnya membuat lelah   Menyerah mungkin hal yang termudah Menyerah untuk jiwa yang lelah Biarkan dan lepaskan, berhenti melawan Ikuti kehendak Sang Pemilik Naskah Kehidupan   Anonim Hanya syair hampa tanpa nama Tentang rasa nyata yang tak berupa Aku hampa dari rasa membuncah di dada Oleh waktu yang meninggalkan luka Sebuah cinta yang dapat menggugah hati Menghancurkan emosi Menyatukan harapan diri Pada mimpi yang tak pasti Bahkan langit tak selalu cerah Kadang tak terlihat indah Walau ada matahari yang tersenyum di sisinya Tak ada yang sempurna   Saat hujan turun dengan derasnya Siapa yang peduli Jika saat itu hatiku juga sama sama basahnya dengan rerumputan di luar sana Terkadang keraguan datang tanpa melihat ruang Keyakinan pun menghilang tanpa ada niat untuk pulang Setiap tarikan napasku terasa sesak dan menyakitkan Tangisku bukan lagi rengekan manja tanpa kata Setiap kata yang terucap tergambarkan duka Aku mencintai jiwa yang tak berwujud dan rasa yang tak berwarna   Fatamorgana Ada yang harus ditinggalkan Sebelum datang penyesalan Ada yang harus dilupakan Sebelum menjadi luka tak berkesudahan Hidup bukan sekadar keinginan dan nafsu Jangan mencintai mimpi yang semu Agar bahagia bukan hanya sesuatu yang menggebu Menutupi sedikit bahagia yang tertinggal di langit biru Ada kalanya menjadi dewasa Menimbulkan keegoisan yang hampa Semua duka yang datang menghampiri Meninggalkan sakit dari rasa sepi di hati   Hatimu menggebu Dadamu berdebar Bibirmu menampilkan senyum tidak tertahankan Pada harapan semu akan bahagia yang tak bertahan Karena semua yang terlihat tidak selalu nyata Bisa saja semua itu hanyalah fatamorgana yang mendustai mata Hal yang mengacaukan juga membutakan merusak otak dan menyesatkan membuat lupa pada kenyataan   Ibuku Surgaku Engkau wanita terhebat yang pernah aku tau ... Mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkanku Tiada kata yang bisa mewakili seorang ibu kepadaku Tiada balasan yang setara yang bisa kuberikan padamu Siang malam kau korbankan hidupmu untukku Namun anakmu tak jarang menyakiti hatimu Tapi ... mengapa hatimu begitu lembut, Ibu? Kau masih memelukku erat dalam dekapan kasih sayangmu Kini Kulitmu hari demi hari mulai mengerut dan keriput Rambutmu hitam perlahan mulai memutih Fisikmu yang dulu kuat sekarang mulai lemah Matamu yang dulu terang sekarang perlahan mulai rabun Telingamu yang dulu nyaring, sekarang mulai samar Namun hatimu tetap sama seperti dahulu Sampai saat ini Ya … hingga aku sebesar ini Sepanjang pengorbanan hidupmu untukku Aku belum bisa memberikan apa-apa untukmu Maafkan anakmu 🙏🏻 Ibu Setiap saat aku selalu mendoakanmu Semoga Allah memberiku waktu untuk membahagiakanmu Namun jika saat nanti aku dipanggil lebih dahulu Ku selalu berdoa untukmu Ya Allah Ya Rabb, jika aku tak bisa membahagiakan ibuku, kumohon ya Allah agar engkau bahagiakan ibuku   Ibu Aku mencintaimu Aku menyayangimu Hingga nanti Akhir napasku sampai di surga   Salatlah Sebelum Disalatkan Saat kamu ingin membangun rumah Bangunlah pondasi yang kokoh Untuk bangunan yang kuat Sebagai tempat berlindung Dunia hanya sementara Akhirat selamanya Salatlah Salat adalah kunci utamanya Salat adalah tiang agama Salat adalah cerminan hidupmu Salat adalah wujud ketaatanmu Salat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar Bertaubatlah wahai saudaraku Mohon ampunlah kepada Allah Karena panasnya neraka, takkan sanggup engkau tahan Salatlah engkau sebelum disalatkan   Saat Senja Menyapa Rabb-Nya Di kala langit memancarkan sinar jingga Semua orang berhenti dari rutinitasnya Meninggalkan segala hiruk pikuk dunia Bersiap untuk menjawab panggilan Rabb-nya Suara azan menggema di mana-mana Seolah memanggil jiwa di manapun berada Langkah kaki tak kenal irama Tangan berayun menuju rumahnya Barisan lurus dan rapat Pikiran fokus pada akhirat Meminta dan merayu malaikat Agar dicatat amalan yang diperbuat Semua orang meminta permohonan Dengan lirih, sedih dan penuh kerenungan Meminta ampunan Pada Rabb yang punya kekuasaan   Jalan Surgaku, Menjadi Seorang Guru Guru Salah satu profesi mulia bagiku Mengajarkan mereka agar tahu Berbagai macam ilmu Bagi mereka mungkin biasa saja Namun sangat membanggakan bagiku Bisa mengajarkannya berhitung dan membaca Menumbuhkan nilai kebaikan pada muridku Menjadi cahaya dalam kegelapan Tumpuan nasib generasi masa depan Karena menanamkan akidah dan keimanan Agar kelak menjadi pembawa perubahan Menjadi guru, bukan hanya tentang gaji Tapi panggilan hati nurani Mengharap rida Illahi Mengerjakan amal jariyah Pahala mengalir tanpa henti   Sahabat Pena Terima kasih, teruntuk dirimu Wahai sahabat penaku Menjadi tempat ceritaku Meluapkan apa yang terjadi pada diriku Kita sama-sama menggoreskan tinta Menceritakan apa yang kita rasa Menghalau rasa sepi menerpa Agar ada teman bercerita Walau karena jarak kita tak bisa bersua Aku merasa bersyukur kepadanya Lewat goresan tulisan tinta pena Kita bisa bertukar cerita suka dan duka   Terima kasih Balasan surat bahagia dan sedih Dengan tinta hitam dan kertas putih Menjadi saksi, kau sahabat terkasih   Pantai Alam yang Indah Iringan melodi air di tepi pantai Ombak berkejar-kejaran menuju tepi Angin bernyanyi mengikuti melodi Lambaian nyiur menari-nari Hamparan pasir putih berseri Menyilaukan mata di siang hari Barisan kapal nelayan berbaris rapi Nelayan membawa rezeki anak dan istri Matahari turun seolah menemui bumi Memancarkan sinar jingganya yang indah Meneduhkan pandangan menyejukkan hati Berharap takkan pernah berubah Namun sayang … dia hanya datang sehari sekali Tak ingin dia pergi Rindu Aku rindu Tentang bagaimana kita bertemu Bersama sang angin lalu Di kala senja kelabu Aku rindu Tentang bagaimana kita bersatu Di kala dulu suka dan duka menyatu Walau petir bergemuruh Aku rindu Tentang bagaimana kita berpisah Mencapai impian dan cita-cita Sampai saatnya kita melupa Momen kecil yang kita cipta   Tapi, kerinduan itu tak berguna Kamu telah pergi, entah ke mana? Menyisahkan luka di sanubari Membayang di bawah mentari   Kebudayaan Indonesia Hebat Indonesiaku penuh akan budaya Jutaan suku meliputinya 6 agama melingkupinya Dan jutaan manusia mengaguminya Siapa yang tidak bangga dengan budaya itu? Warga asing saja iri terhadapnya Dan mereka berusaha merebutnya Terlebih budaya itu menyatukan NKRI Aku bangga dengan budaya itu Budaya itu kekayaan negeriku Tak semua orang punya itu Dan kita masih dapat mempertahankannya   Indonesia kaya akan budaya Budaya yang begitu asli dan berkarakter Yang membuat negaraku maju dan terkenal Kebuadayaan Indonesia hebat   Menari Bersama Alam Aku melihat sebuah mimpi Keadaan tenteram menusuk sanubari Momen indah dalam hidupku Membuatku diam terpaku Tiba-tiba angin berembus Sejuk dengan aroma alami Aku terhanyut pejamkan mata Diiringi nyanyian alam getarkan jiwa Hewan-hewan indah penuh rupa Dengan bunga bermacam warna Lebah madu menari bersama Beriringan penuh ria   Lalu aku membuka mata dan terbangun Mimpi indah yang membuatku tertegun Secuil indah memori dalam hidupku Kan kuingat selalu dalam hidupku   Apakah langit kita sama? Jika benar sama Apakah kamu melihat langit semalam? Hanya sebentar, sekejap melihat keindahan itu Lalu tertutup, seakan tak rela semua mata melihat Atau hanya aku yang punya sedikit kesempatan kesempatan merasakan keindahan Semua terasa semu, terasa menusuk ke jantung Hanya suara jangkrik sebagai penenang, ketika keindahan mulai tertutup oleh tak kerelaannya Tiba-tiba sinar cahaya mengejutkanku Suara-suara menggelegar sahut menyahut Lamunan mulai terurai dari pikiran penuh dengan tanda tanya   Hai, keindahan kapan aku bisa melihatmu kembali, mengapa kau menangis tersedu-sedu ... membasahi semuanya Jangan biarkan keindahan itu tertutup kembali   Hai penguasa Ini waktumu mencari kekosongan hati dari kebingungan para pemberi suara Gambarmu di mana-mana Menghiasi sudut demi sudut kota maupun desa Semakin membuat kerusakan alam Debat demi debat memperlihatkan kehebatan Tak ayal saling menjegal dan menyebar fitnah Demi mendapatkan keawaman hati Teruslah berjuang wahai penguasa Sampaikan yang menurutmu benar Beri setitik harapan bagi kekosongan hati Hingga tujuanmu tercapai Jari yang tak sabar membuka layar Memulai dari gambar-gambar sangat memilukan Gambar demi gambar melewati beranda Pikiran mulai berkecamuk tak tentu arah Marah, ya memang marah Tapi apa yang harus dilakukan Sedih, ya memang menyayat Air mata hanya bisa menetes Apa yang bisa dilakukan untuknya? Aku bisa apa? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak punya kuasa apa pun Cukupkah dengan bersujud menyelamatkanmu Cukupkah dengan berdoa menolongmu Cukupkah dengan sedikit bantuan meringankanmu Aku tak tau, hanya itu perjuanganku Penguasa Tuan yang berkuasa Kita semua manusia biasa Walau tak pernah bersua Kami percayakan semua asa Tuan yang berkuasa Suara dan perintahmu menggema Seruan untuk rakyatmu Menentukan arah yang kautuju Tuan yang berkuasa Derajatmu melambung tinggi Jika kau sepenuh hati Membawa kemakmuran negeri   Amelina Junidar, 12 Juni 1992. Nama pena ‘Elina Ajrie’. Penggemar sejati Detective Conan, Power Ranger, dan Captain Tsubasa. Hobi coret-coret sejak kelas 3 SD. Alhamdulillah, sudah melahirkan 20 antologi puisi-cerpen dan 7 buku puisi solo. Pernah menjadi CEO penerbitan CV Ajrie publisher tahun 2015 – 2018 (setelahnya vakum sampai sekarang) dan menerbitkan ratusan judul buku secara indie. 2019 hingga sekarang, mengabdi sebagai seorang pendidik di SD Islam Al Azhar 67 Bukittinggi. Facebook : Elina Ajrie II Instagram : @amelinajunidar WA : 081212229219

Komentar

Postingan Populer

Istilah2 minang

logical division of ideas

Terjemahan Lagu To the Bone Pamungkas

Translate